Perusahaan konektivitas awan (cloud connectivity) Cloudflare baru saja merilis studi baru yang berfokus pada keamanan siber di Asia Pasifik.
Studi yang berjudul “Melindungi Masa Depan: Survei Kesiapan Keamanan Siber Asia Pasifik” ini menyajikan data terkini tentang kesiapan keamanan siber di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, yang mengungkap cara perusahaan mengatasi peningkatan jumlah insiden keamanan siber, tingkat kesiapannya, dan akibat yang dialami.
Studi tersebut mengungkapkan bahwa 70 persen responden (perusahaan) di Indonesia mengalami insiden keamanan siber dalam 12 bulan terakhir.
Kebanyakan insiden tersebut disebabkan oleh serangan web, diikuti oleh phishing dan penyerangan email bisnis, dengan responden memberi peringkat pada penanaman spyware, penyelundupan data, dan keuntungan finansial sebagai sasaran utama penjahat siber.
Hasil studi juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh (54 persen) responden di Indonesia mengalami kerugian hingga Rp15 miliar akibat insiden keamanan siber selama 12 bulan terakhir.
Responden juga menyebutkan kehilangan data/kekayaan intelektual, kerusakan reputasi, dan kehilangan pelanggan sebagai dampak terbesar yang dialami organisasinya di luar kerugian keuangan.
Ironisnya, di tengah tingginya frekuensi insiden keamanan siber di Indonesia, hanya 53 persen responden yang menyatakan sangat siap untuk mencegah insiden tersebut.
Para responden mengakui kurangnya sumber daya manusia sebagai tantangan terbesar dalam hal kesiapan keamanan siber.
Selain itu, dampak insiden keamanan siber di Indonesia juga meluas ke operasional organisasi, dengan 39 persen responden mengatakan bahwa organisasinya menunda rencana perkembangan, menghentikan operasi untuk sementara, dan melaporkan insiden ke pihak yang berwenang.
“Di tengah kian kompleksnya lingkungan ancaman siber yang berdampak pada risiko finansial dan reputasi organisasi, para pelaku bisnis perlu lebih mendedikasikan waktu dan sumber daya untuk merumuskan strategi keamanan siber yang tepat bagi organisasi mereka agar mampu menangkal serangan berbahaya dan meningkatkan ketahanan siber,” jelas Jonathon Dixon, Wakil Presiden dan Direktur Pelaksana, Asia Pasifik, Jepang, dan China di Cloudflare.
“Organisasi harus memandang keamanan siber sebagai hal yang sangat penting dan melakukan investasi yang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan yang ada,” lanjut Jonathon.
Studi ini dilakukan pada Juli 2023 oleh Sandpiper Communications atas nama Cloudflare.
Studi dilakukan dengan menyurvei sebanyak 4.009 pengambil keputusan dan pemuka keamanan siber dari organisasi kecil (150 hingga 999 karyawan), menengah (1.000 hingga 2.500 karyawan), dan besar (lebih dari 2.500 karyawan).
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR