Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen mengingatkan potensi risiko penggunaan teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan terhadap sistem keuangan. Dalam pertemuan Dewan Pengawasan Stabilitas Keuangan (FSOC), Yellen menyoroti kerentanan sistem keuangan yang disebabkan oleh penggunaan AI dalam layanan keuangan.
Yellen mengatakan teknologi AI memang dapat mengoptimalkan alur kerja bisnis dan mengotomatisasi tugas-tugas rutin, seperti pengolahan data dan analisis tetapi teknologi AI mempunyai potensi risiko negatif yang banyak.
"Risiko implementasi AI oleh perusahaan keuangan meliputi keamanan data, perlindungan konsumen, dan privasi," katanya.
Pendapat serupa disampaikan oleh ketua SEC Gary Gensler dan Michael Barr dari The Fed, yang menolak penggunaan teknologi AI dalam sektor perbankan karena potensi menyebabkan perhitungan keuangan yang bias atau tidak akurat.
Selain itu, kehadiran teknologi AI juga dapat memicu risiko serangan siber yang tinggi, termasuk ancaman siber dan kejahatan siber yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan. FSOC mencatat bahwa kesalahan dan bias menjadi sulit diidentifikasi seiring dengan meningkatnya kompleksitas pendekatan AI, menekankan perlunya kewaspadaan dari pengembang teknologi, perusahaan keuangan, dan regulator.
Ekonom David Autor menambahkan bahwa adopsi AI dapat mengakibatkan PHK besar-besaran bagi 60 persen pekerja di masa depan. Meskipun tidak semua pekerjaan dapat digantikan oleh teknologi AI, penggunaan model AI dalam sistem Reinforcement Learning from Human Feedback (RLHF) berpotensi mengotomatisasi pekerjaan tertentu, menciptakan potensi penggantian jutaan pekerjaan global.
Presiden AS Joe Biden telah meresmikan perintah ekekutif pada bulan Oktober lalu, memerintahkan perusahaan AI untuk membagikan hasil uji keselamatan kepada pemerintah federal sebagai langkah untuk melindungi privasi konsumen dan mencegah dampak negatif dari kemunculan AI.
Bakal Banyak PHK
Penggunaan teknologi artificiaI intelligence (AI) atau kecerdasan buatan di industri seperti pedang bermata dua. Satu sisi teknologi AI memberikan banyak hal positif bagi kehidupan manusia karena menawarkan banyak kemudahan dan kecepatan. Namun, penggunaan teknologi AI juga berdampak negatif, seperti pengurangan tenaga kerja (PHK) besar-besaran karena perusahaan lebih memilih penggunaan teknologi AI yang lebih murah dan efisien.
Laporan terbaru dari ResumeBuilder mengungkapkan perusahaan dan industri yang menggunakan AI akan melakukan PHK besar pada tahun depan. Dari 750 pemimpin bisnis yang menerapkan AI, sekitar 37 persen di antaranya menyatakan bahwa teknologi ini menggantikan pekerja pada tahun 2023. Sementara 44 persen meramalkan pemutusan hubungan kerja terjadi pada tahun 2024 sebagai dampak penggantian oleh AI.
Julia Toothacre (Peneliti ResumeBuilder) mengatakan angka-angka itu tidak sepenuhnya mencerminkan situasi bisnis secara keseluruhan. "Masih banyak perusahaan tradisional dan bisnis kecil yang belum mengadopsi teknologi AI sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar," katanya.
Meskipun pemutusan hubungan kerja sebagai akibat AI menjadi kenyataan, AI juga memberikan kesempatan bagi pemimpin bisnis untuk melakukan restrukturisasi dan meredefinisi pekerjaan.
Alex Hood (Chief Product Officer di Asana) mengatakan setengah waktu yang dihabiskan di tempat kerja dapat dioptimalkan dengan bantuan AI. AI dapat menyelesaikan pekerjaan kecil seperti pembaruan status dan komunikasi antar departemen.
"AI terbukti dapat meningkatkan efisiensi dan membuat perusahaan mengadopsinya," ujarnya.
Menurut laporan State of AI at Work 2023 dari Asana, 29% karyawan melihat tugas kerja mereka dapat digantikan oleh AI. Meskipun beberapa pekerjaan seperti penelitian dan analisis data dapat diotomatisasi, perusahaan tetap memerlukan peran manusia untuk memicu AI, memahami hasil, dan mengambil tindakan.
Otomatisasi Robot AI
Kehadiran teknologi artificiaI intelligence (AI) atau kecerdasan buatan ibarat pedang bermata dua. Satu sisi, AI dapat meningkatkan produktivitas kerja manusia sehingga jauh lebih efisien. Sisi lainnya, AI dapat menggantikan peran manusia di lapangan kerja dan menciptakan banyak pengangguran.
CEO OpenAI Sam Altman mendorong kongres AS untuk mengeluarkan regulasi yang mengatur penggunaan dan mitigasi risiko AI karena AI dapat menggantikan peran manusia di lapangan pekerjaan.
"Jika tidak diatur, AI akan membuat banyak orang nganggur dan bisa menghancurkan peradaban manusia," katanya.
Meskipun ChatGPT menjadi viral dan digunakan dalam berbagai industri, seperti pendidikan, keuangan, pertanian, dan layanan kesehatan, kehadiran AI generatif ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang penipuan dan mengganti pekerjaan manusia. Kemungkinan otomatisasi pekerjaan AI mencapai 300 juta pekerjaan penuh waktu secara global dan mengancam jutaan pekerjaan dalam lima tahun. Menurut laporan Forum Ekonomi Dunia, sekitar 14 juta posisi bisa hilang dalam lima tahun ke depan saja.
"AI dapat memanipulasi pemilih dan penyebaran disinformasi," ujarnya.
Ia bergabung dengan para ilmuwan dan pemimpin bisnis AI dalam mengingatkan tentang risiko kepunahan akibat AI. Beberapa menganggap ini sebagai peringatan penting terhadap potensi dampak AI.
"Mitigasi risiko kepunahan akibat AI harus menjadi prioritas global di samping risiko skala sosial lainnya seperti pandemi dan perang nuklir," ucapnya.
ChatGPT menjadi viral dan ramai diperbincangkan. Para CEO menggunakannya untuk menyusun email, orang-orang membuat situs web tanpa pengalaman pengkodean sebelumnya, bahkan lulus ujian dari sekolah hukum dan bisnis. Hal ini mempunyai potensi untuk merevolusi hampir semua industri, termasuk pendidikan, keuangan, pertanian dan layanan kesehatan, mulai dari operasi hingga pengembangan vaksin obat-obatan.
Digantikan Robot
Penggunaan robot yang masif terbukti mengambil alih pekerjaan manusia, mengingat penggunaan robot lebih efisien dalam melakukan suatu pekerjaan. Baru-baru ini, kajian Oxford Economics mengklaim robot akan mengambil alih 20 juta pekerjaan manusia pada 2030.
Oxford Economics mengungkapkan ada 14 juta robot yang akan bekerja di Tiongkok pada 2030. Kemudian, robot juga akan mengambil alih lebih dari 1,5 juta pekerjaan di Amerika Serikat (AS) dan 2 juta pekerjaan manusia di negara-negara Uni Eropa.
Ekonom Oxford Economics menemukan fakta bahwa tingkat penggunaan robot naik hingga 2,25 juta unit selama dua dekade ke belakang.Sisi positifnya, jika penggunaan robot naik 30 persen, maka nilai GDP akan meningkat hingga 5,3 persen pada 2030.
"Ini sama saja dengan meningkatkan USD 4,9 triliun per tahun untuk ekonomi global pada 2030 nanti," demikian tertulis laporan hasil studi seperti dikutip CNBC.
Alasan industri menggunakan robot karena robot terbukti ampuh mengurangi beban produksi, menambah efisiensi dan meningkatkan produktivitas serta pertumbuhan ekonomi. Sisi negatifnya, jutaan pekerjaan manusia akan hilang digantikan robot.
"Dampak robotisasi (istilah untuk dominasi robot di berbagai aspek kehidupan), jutaan pekerjaan akan hilang, terutama di bagian yang tidak membutuhkan skill khusus. Ketimpangan pendapatan akan semakin meningkat," jelas salah satu peneliti.
Jumlah robot yang berada dipasang di tempat kerja dalam 4 tahun terakhir adalah sama dengan jumlah yang digunakan selama 8 tahun sebelumnya, meningkat 2 kali lipat.
Meski ada ancaman hilangnya pekerjaan, para ekonom menyarankan pemerintah untuk tidak membuat undang-undang pelarangan otomatisasi.
"Pembuat kebijakan dan stakeholder lainnya tidak boleh frustasi dengan adopsi teknologi robot. Tantangan yang harus dipikirkan adalah bagaimana manusia bisa mendistribusikan unit robot secara rata untuk membantu para pekerja supaya pekerjaan lebih efektif dan efisien," tulis laporan tersebut.
Baca Juga: Platform CUDA Sukses Bantu NVIDIA Dominasi Pasar AI di Dunia
Baca Juga: Sabet Penghargaan Bergengsi, HashMicro Fokus Riset dan Kembangkan AI
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR