Perusahaan internet berbasis satelit Starlink diprediksi akan meraih pendapatan US$6,6 miliar atau sekitar Rp.105,6 triliun di tahun 2024 ini. Pendapatan sebesar itu jauh di atas prediksi pengamat, sekaligus menjadi pertanda gurihnya bisnis internet berbasis satelit.
Perlu dicatat, SpaceX (sebagai perusahaan induk Starlink) adalah perusahaan tertutup, sehingga laporan keuangannya tidak tersedia untuk publik. Nilai bisnis Starlink di atas lebih merupakan prediksi firma Quilty Space berdasarkan riset pasar yang mereka lakukan.
Mengapa Starlink Untung Besar
Saat ini, Starlink diprediksi memiliki 2,7 juta pelanggan yang tersebar di 75 negara di seluruh dunia. Sebagian besar pelanggan ini adalah bermukim di negara maju, yang rela membayar lebih untuk mendapatkan akses internet yang lebih baik. Selain itu, pelanggan Starlink adalah perusahaan enterprise dan pemerintahan yang membutuhkan akses di lokasi terpencil.
“Saat ini posisi Starlink adalah layanan bagi segmen menengah ke atas, belum menjembatani ketimpangan akses internet [seperti misi awal Starlink],” ungkap Justin Cadman, co-chief executive dari Quilty Space. Hal ini bisa dilihat dari harga Starlink di Indonesia, yang harga langganannya mencapai Rp.750 ribu/bulan, di luar biaya pembelian perangkat sebesar Rp.7,8 juta.
Selain mampu meraih banyak pelanggan, Starlink juga mampu menekan biaya operasional. Hal ini tidak lepas dari proses produksi satelit yang sebagian besar mereka lakukan sendiri.
Jika ditilik, satelit generasi pertama Starlink memiliki ongkos produksi US$200.000 per satelit. Sementara satelit generasi kedua membutuhkan ongkos produksi U$800.000 per satelit. Namun perlu dicatat, satelit generasi kedua ini memiliki kapabilitas jauh di atas satelit generasi pertama.
Efisiensi juga didapat dari proses pengiriman satelit ke luar angkasa yang menggunakan Falcon X. Ini adalah pesawat ulang-alik milik SpaceX sendiri yang terkenal irit karena mesin jetnya dapat digunakan kembali.
Sebagai informasi, saat ini Starlink mengoperasikan sekitar 5200 satelit yang tersebar di seluruh dunia.
Bagaimana Starlink mengubah bisnis satelit internet
Pencapaian Starlink ini praktis mengubah persepsi pasar akan bisnis satelit internet. “Saat Starlink meluncurkan ide konstelasi satelit untuk internet, banyak pihak yang skeptis,” ungkap Chris Quilty, pendiri Quilty Space. Skeptisme itu tidak lepas dari kegagalan konsep internet satelit di era 90an.
Sebagai perbandingan, saat ini jumlah pelanggan dua penyedia internet satelit terbesar, yaitu Viasat dan Hughesnet, jika digabungkan hanya sekitar 2,1 juta pelanggan. Angka yang relatif kecil ini menggambarkan susahnya akuisisi pengguna internet berbasis satelit.
Akan tetapi, kesuksesan Starlink menjadi penanda bisnis menggiurkan dari industri satelit internet. Tidak heran jika akan muncul beberapa pesaing baru untuk Starlink. Amazon misalnya, telah merintis Project Kuiper yang rencananya dapat digunakan di akhir tahun 2024. Amazon Kuiper ini rencananya akan mengorbitkan 3236 satelit LEO (Low Earth Orbit) untuk menciptakan layanan internet berkecepatan tinggi di seluruh dunia.
Ada pula OneWeb yang merupakan anak perusahaan dari Eutelsat, salah satu operator satelit terbesar Eropa. OneWeb rencananya akan mengirimkan 6400 satelit untuk menyediakan layanan internet untuk warga Eropa.
Menarik untuk melihat bagaimana industri internet satelit ini berubah seiring kesuksesan Starlink.
Baca juga: Inilah yang perlu kamu ketahui tentang Starlink di Indonesia
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR