Di tengah gencarnya narasi digitalisasi di berbagai sektor, terdapat fenomena yang masih luput dari perhatian banyak pihak.
Contohnya seperti fenomena technostress yang turut disoroti oleh perusahaan ERP (Enterprise Resource Planning) HashMicro.
Technostress didefinisikan sebagai ketakutan atau kecemasan yang dialami individu dalam menghadapi teknologi.
Menurut beberapa penelitian, technostress merupakan bentuk resistance to change.
Artinya, stres yang muncul bukan berasal dari teknologi itu sendiri, melainkan dari rasa enggan/takut untuk beradaptasi dengan sistem baru.
Fenomena technostress ini bisa dicegah dan diatasi secara menyeluruh. Berdasarkan pengamatan HashMicro, terdapat dua hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi technostress yaitu dukungan perusahaan dan memilih untuk implementasi teknologi dengan user experience yang menyenangkan.
Chief Business Development Officer HashMicro, Lusiana Lu, menjelaskan jika perusahaan baru melakukan digitalisasi maka dibutuhkan komitmen bersama antara perusahaan dengan partner penyedia teknologi.
“Perusahaan harus bisa mengambil langkah proaktif dengan melibatkan seluruh stakeholder, termasuk karyawan dalam prosesnya,” ujarnya.
Dampak Technostress
Jika karyawan mengalami technostress, karyawan cenderung memiliki tingkat kecemasan yang tinggi.
Hal ini dapat menyebabkan burnout karena mereka harus mempelajari teknologi baru dari awal.
Selain itu, technostress juga dapat menyebabkan frustasi, terutama jika sistem sering mengalami eror.
Technostress juga bisa menghambat komunikasi internal karena adanya gap informasi antar karyawan.
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR