Perlombaan pengembangan teknologi artificiaI intelligence (AI) atau kecerdasan buatan juga memasuki industri militer. Baru-baru ini China meningkatkan pengembangan dan produk senjata berbasis AI untuk menyaingi ancaman Amerika Serikat (AS) yang senantiasa menganggu stabilitas keamanan nasional China.
Tentunya, perlombaan pengembangan senjata militer berbasis AI sangat menggangu stabilitas dan keamanan global karena siapapun bisa menjadi korban dari pertikaian dua raksasa tersebut. China mempercepat pengembangan senjata otonom, termasuk pesawat nirawak dan kapal selam bertenaga AI, dan bahkan telah mempersenjatai robot anjing dengan senapan mesin.
Eksperimen China dengan AI dalam komando militer menunjukkan kesediaan China untuk menyerahkan pengambilan keputusan penting kepada mesin, yang dapat meningkatkan risiko eskalasi konflik yang tak terkendali. Hal ini juga mengancam untuk mengganggu paradigma keamanan nuklir yang telah lama ada, yang dapat menyebabkan ketidakstabilan lebih lanjut.
Sikap China yang mengabaikan pertimbangan etika dan kemungkinan proliferasi senjata AI ke kelompok non-negara juga menambah ancaman terhadap keamanan global. Pendekatan ini mencerminkan strategi perang asimetris yang lebih luas oleh China yang bertujuan untuk mengungguli keunggulan militer Amerika Serikat.
Dengan sedikit pengawasan terhadap pengembangan AI militer, China akan mempercepat penelitian tanpa hambatan, memperkuat posisinya di kancah internasional. Dalam konteks ini, komunitas internasional dihadapkan pada tantangan untuk mengembangkan regulasi global yang efektif untuk senjata AI.
Sebuah hasil survei terbaru menunjukkan bahwa China menjadi negara yang memimpin di dunia dalam hal adopsi AI (artificial intelligence) generatif. Seperti diketahui, AI generatif semakin populer sejak kemunculan ChatGPT besutan OpenAI pada akhir 2022 lalu.
Dalam survei terhadap 1.600 pengambil keputusan di industri di seluruh dunia yang dilakukan oleh perusahaan perangkat lunak AI dan analitik dari AS, SAS dan Coleman Parkes Research, 83% responden di Tiongkok mengatakan bahwa mereka telah menggunakan AI generatif.
Angka tersebut lebih tinggi dari 16 negara dan wilayah lain dalam survei tersebut, termasuk AS, di mana cuma 65% responden yang mengatakan bahwa mereka telah mengadopsi AI generatif. Hasil survei itu juga mengungkapkan bahwa rata-rata adopsi AI generatif di global sebanyak 54%, seperti dikutip dari Reuters.
Industri yang disurvei meliputi perbankan, asuransi, perawatan kesehatan, telekomunikasi, manufaktur, ritel, dan energi. Hasil survei tersebut juga menggarisbawahi kemajuan pesat China dalam bidang AI generatif, yang mendapatkan momentum setelah OpenAI yang didukung Microsoft merilis ChatGPT pada November 2022, yang mendorong lusinan perusahaan Tiongkok untuk meluncurkan AI generatif versi mereka sendiri.
Pekan lalu, sebuah laporan dari Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) menunjukkan bahwa China memimpin dalam perlombaan paten AI generatif, dengan mengajukan lebih dari 38.000 paten sejak 2014 hingga 2023 dibandingkan dengan 6.276 paten yang diajukan oleh AS pada periode yang sama.
"China tercatat enam kali lebih banyak mengajukan paten AI dibandingkan AS," tulis laporan PBB tersebut.
Sementara banyak penyedia layanan AI generatif internasional terkemuka, termasuk OpenAI, menghadapi pembatasan di Tiongkok, negara ini telah mengembangkan industri teknologi domestik yang kuat, dengan penawaran AI generatif dari raksasa teknologi seperti ByteDance hingga startup seperti Zhipu.
Baca Juga: Meta: 90% Bisnis Pakai Perpesanan di Setiap Tahap Perjalanan Konsumen
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR