Pemerintah China sedang merancang regulasi yang akan mewajibkan perusahaan AI dan platform media sosial untuk memberi label pada konten yang dihasilkan oleh artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Langkah itu diambil untuk mencegah penyebaran misinformasi dan membantu masyarakat dalam membedakan antara konten asli dan konten buatan AI.
Regulasi itu diusulkan oleh Administrasi Ruang Siber Tiongkok pada 14 September 2023. Beberapa metode yang diajukan untuk pelabelan konten AI meliputi watermark, metadata terenkripsi, dan kode morse. Tujuan utamanya adalah mengurangi permasalahan seperti penyebaran konten pornografi ilegal dan disinformasi politik yang meningkat seiring berkembangnya teknologi AI generatif.
Peraturan itu juga akan mengharuskan perusahaan menandai konten berupa gambar, video, audio, dan realitas virtual yang dihasilkan oleh AI secara jelas, termasuk melalui penggunaan teknologi pendeteksian dan sensor. Langkah ini sejalan dengan negara lain, seperti Uni Eropa yang telah mengesahkan Undang-Undang AI pada Maret 2023 dan California yang baru-baru ini meloloskan undang-undang serupa.
Tak hanya itu, regulasi itu juga akan membahas ancaman sanksi bagi platform yang gagal mendeteksi konten tersebut dengan benar. Hal itu akan meningkatkan risiko hukum bagi perusahaan yang tidak mematuhi aturan. China ingin menjadi pemimpin dalam regulasi global terkait AI.
"China berada di depan Uni Eropa dan AS dalam mengatur konten AI, terutama pemerintah China ingin memastikan keselarasan politik dalam layanan chatbot AI," kata Angela Zhang (Profesor Hukum di University of Southern California).
Tantangan utama dari regulasi AI ini adalah bagaimana platform media sosial akan bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan melabeli konten AI. Platform seperti Douyin, WeChat, dan Weibo kemungkinan akan diwajibkan untuk memeriksa unggahan pengguna, mendeteksi jejak AI, dan menambahkan label jika konten tersebut teridentifikasi sebagai buatan AI. Selain itu, metadata terkait asal konten juga harus dicantumkan.
Perusahaan juga diwajibkan menambahkan label implisit dalam metadata file AI, termasuk inisial "AIGC" serta informasi terenkripsi tentang pencipta dan penyebar konten tersebut. Hal ini menciptakan tantangan teknis besar karena standar metadata membutuhkan kerja sama antar platform, alat, dan model yang berbeda. Meskipun regulasi ini bertujuan melindungi masyarakat dari disinformasi dan meningkatkan transparansi, penerapannya akan memakan waktu bertahun-tahun dan biaya besar bagi perusahaan AI serta platform digital.
Punya Ratusan Model AI
China menjadi negara terdepan dalam pengembangan artificiaI intelligence (AI) atau kecerdasan buatan di dunia. Hingga saat ini China memiliki lebih dari 190 model layanan AI generatif yang terdaftar dan sudah dipakai untuk masyarakat luas. Kepala Administrasi Ruang Siber China (CAC) Zhuang Rongwen mengatakan jumlah pengguna yang terdaftar menggunakan model-model AI ini telah mencapai lebih dari 600 juta.
"Kami terus mendorong pengembangan industri, kemajuan teknologi, serta peningkatan kontrol keamanan di sektor AI generatif, dengan fokus pada keseimbangan antara pembangunan berkualitas tinggi dan keamanan yang ketat," katanya.
Pada Juli 2023, China merilis aturan manajemen sementara untuk layanan AI generatif, menjadikannya negara pertama yang menerapkan regulasi di bidang ini. Selain itu, resolusi reformasi utama yang diadopsi dalam sidang pleno ketiga Komite Sentral Partai Komunis China pada Juli juga menegaskan komitmen negara untuk memperkuat mekanisme pengelolaan dan pengembangan AI generatif.
Sementara itu Administrasi Kekayaan Intelektual Nasional China (CNIPA) melaporkan jumlah paten artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang efektif beroperasi di China mencapai 378.000 hingga akhir 2023, dengan tingkat pertumbuhan tahunan lebih dari 40 persen.
"Tingkat pertumbuhan di China 1,4 kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata global," kata CNIPA dalam konferensi pers di Beijing.
Industri AI mencerminkan vitalitas inovasi ekonomi digital China dan menyumbang 10 persen dari PDB negara tersebut. Pada 2023, jumlah paten penemuan yang disetujui di industri ekonomi digital inti China mencapai 406.000, mencakup 45 persen dari total paten penemuan yang diberikan di negara tersebut.
Selama lima tahun terakhir, tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata mencapai 21 persen. Ge Shu, pejabat senior CNIPA, yang mencatat perkembangan pesat inovasi teknologi di bidang ekonomi digital. Ge juga menyatakan bahwa hingga akhir 2023, sebanyak 155.000 perusahaan dalam negeri telah memperoleh paten penemuan yang berkaitan dengan ekonomi digital, meningkat 31.000 dibandingkan tahun sebelumnya.
Perusahaan asing juga memperkuat portofolio paten mereka di industri inti ekonomi digital China. Menurut Ge, hingga akhir tahun lalu, sebanyak 93 negara memegang paten penemuan yang valid dalam industri ini di China, dengan sektor manufaktur produk digital menyumbang 61,8 persen.
China mengambil peran utama dalam mempromosikan agenda kolaboratif dan inklusif dalam tata kelola artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan di dunia, menyusul saat ini semua negara sedang meningkatkan pengawasan global terhadap AI. China menekankan pentingnya pengembangan teknologi ini secara aman, andal, terkendali, dan adil.
Dalam Konferensi Kecerdasan Buatan Dunia (WAIC), Perdana Menteri China Li Qiang mengatakan China menyampaikan deklarasi pengembangan AI yang etis dan bertanggung jawab, serta mendorong penggunaan AI untuk membantu negara berkembang.
"Tantangan baru AI, termasuk hukum, keamanan, ketenagakerjaan, dan etika. China selalu memprioritaskan penggunaan AI yang etis dan bertanggung jawab," katanya.
Zhou Bowen (Direktur Laboratorium Kecerdasan Buatan Shanghai) mengungkapkan risiko AI seperti kebocoran data, pelanggaran privasi, disinformasi, serta bias dan diskriminasi. Menteri Ilmu Pengetahuan dan Teknologi China, Yin Hejun, menekankan bahwa pengawasan manusia terhadap AI penting untuk mencapai hasil yang aman dan konstruktif, yang memerlukan pendekatan kolaboratif global.
Pendekatan China terhadap tata kelola AI global didukung oleh peserta WAIC, yang setuju tentang perlunya kolaborasi internasional untuk mengurangi risiko AI. Sassine Ghazi dari Synopsys menyatakan bahwa keseimbangan antara inovasi AI dan pembangunan yang bertanggung jawab bisa dicapai melalui kerja sama global.
Wakil Menteri Luar Negeri China, Ma Zhaoxu, menolak upaya memonopoli sumber daya AI dan menciptakan aliansi eksklusif, serta mengecam campur tangan jahat dalam inisiatif negara lain. George Chen dari Asia Group menekankan pentingnya konsensus global untuk mencegah penggunaan AI sebagai senjata.
China juga fokus memastikan negara berkembang tidak tertinggal dalam AI global, dengan inisiatif seperti Inisiatif Tata Kelola AI Global dan resolusi PBB untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam AI. Ma menegaskan bahwa semua negara memiliki hak atas kemajuan AI yang setara, dan Jose Roberto dari Brasil menekankan pentingnya kolaborasi setelah WAIC.
Baca Juga: Tak Lagi Gratis, Penggunaan AI ChatGPT Bakal Dikenakan Biaya Segini
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR