Memasuki tahun 2025, Red Hat menyoroti perkembangan adopsi teknologi artificial intelligence (AI) di lingkungan enterprise dan bagaimana teknologi open source dapat mendukung inovasi serta efisiensi operasional AI.
Meskipun adopsi AI secara global meningkat, perusahaan di Indonesia masih tertinggal dalam penerapan AI, khususnya AI generatif. Laporan dari McKinsey Global Survey menyebutkan bahwa 65% responden di seluruh dunia menggunakan AI secara reguler, dengan tingkat adopsi yang meningkat dua kali lipat sejak tahun 2023.
Namun survei yang dilakukan oleh PwC menunjukkan bahwa organisasi di Indonesia masih tertinggal dalam adopsi AI generatif. Menurut survei bertajuk “27th Annual Global CEO Survey” tersebut, sekitar 53% CEO di Indonesia melaporkan bahwa AI generatif belum diterapkan di perusahaan mereka, dibandingkan dengan 41% di wilayah Asia Pasifik.
Meskipun demikian, menurut prediksi Forrester, penerapan AI oleh perusahaan diperkirakan akan melampaui 70% pada tahun 2025. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak lagi sekadar bereksperimen dengan AI, tetapi mulai menggunakan AI secara penuh untuk meningkatkan produktivitas, menyederhanakan operasi, dan memperbaiki proses pengambilan keputusan.
Alasan Penggunaan Open Source
Membantu perusahaan mengadopsi AI, Red Hat memaparkan kekuatan teknologi open source. Menurut Vony Tjiu, Country Manager Red Hat Indonesia, salah satu kekuatan open source yang akan mendukung pengembangan dan adopsi teknologi baru, seperti AI, adalah kolaborasi.
“Karena kami percaya bahwa inovasi tidak terjadi hanya di perusahaan-perusahaan besar, dengan investasi R&D yang sangat tinggi. Tapi justru inovasi itu banyak terjadi di komunitas, di mana semua orang itu bebas untuk berkontribusi,” jelas Vony dalam sesi media briefing beberapa waktu lalu.
Vony menambahkan bahwa dengan open source, inovasi ada di tangan pengguna/customer. Sementara Red Hat menyediakan "bahan" yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan customer, dengan bantuan para mitra yang tergabung dalam ekosistem Red Hat yang memiliki keunikan dan kapabilitas masing-masing.
Selain memungkinkan inovasi yang lebih cepat, pemanfaatan teknologi open source yang bersifat terbuka juga lebih memudahkan perusahaan dalam urusan pencarian talenta. Hal ini, disebut Vony, sebagai salah satu tantangan yang kerap dihadapi oleh banyak perusahaan.
Vony Tjiu juga menyinggung transparansi dalam open source yang memungkinkan siapa saja untuk mengakses dan menggunakan teknologi yang tersedia. Namun, menurutnya, yang membedakan Red Hat adalah dukungan enterprise yang ditawarkan.
“Red Hat adalah perusahaan enterprise open source terbesar di dunia, di mana selain memberikan support kepada enterprise atau organisasi-organisasi pelanggan, kami juga senantiasa melakukan inovasi terhadap produk-produk kami dan juga membantu customer untuk mengintegrasikan solusi mereka dengan environment yang ada,” ujarnya. Vony menambahkan bahwa Red Hat menawarkan layanan yang memungkinkan organisasi besar untuk lebih fokus pada inovasi daripada mengurusi operasional sehari-hari.
Hybrid Cloud Sebagai Penopang Utama AI
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR