Sebuah firma data analis asal Roma bernama, Ghost Data melaporkan studi terbaru mereka yang menyebutkan bahwa sekitar 95 juta dari satu miliar pengguna Instagram adalah bot atau program komputer.
Penelitian ini bukan pertama kalinya. Pada 2015 lalu, Ghost Data juga pernah menggunakan metodologi yang sama.
Hasilnya, 7,9 persen pengguna Instagram yang saat itu tembus 300 juta pengguna, adalah bot.
Penemuan itu didapat setelah peneliti membeli 200.000 akun bot untuk menganalisis perilaku mereka. Kemudian mereka mencocokkan perilaku bot yang mereka beli dengan satu juta akun lain.
Kesimpulan yang mereka dapat, 200.000 bot tadi sangat aktif dibanding followers atau pengikut lain di akun Instagram populer.
Ghost Data menemukan jutaan akun yang memiliki perilaku serupa di banyak akun Instagram populer, seperti akun para selebgram atau tokoh terkenal.
Akun-akun bot tersebut juga mengirim postingan layaknya akun "normal', namun biasanya berisi foto-foto model yang umum ditemukan di situs lain.
Manurut salah satu pendiri Ghost Data, Andrea Stroppa mengatakan jika pembuat bot saat ini semakin lihai, bahkan ketika Instagram mencoba memusnahkan mereka.
Ketika dulu satu bot mengikuti (follow) sekitar 40 akun, untuk setiap akun yang mengikuti (following) akun bot. Sekarang mereka telah mengurangi rasionya sekitar lima hingga satu.
"Sudah sekian lama, jejaring sosial belum mampu menemukan bot. Saya rasa mereka (jejaring sosial) lebih baik sekarang, tapi mereka bisa melakukan yang lebih baik lagi," jelas Stroppa.
The Information juga menemukan data yang mirip dengan penemuan Ghost Data. Data tersebut berasal dari Dovetail, sebuah startup yang menganalisa bot untuk pemasaran.
Co-founder Dovetail, Mike Schimdt mengatakan bahwa metodologi yang dilakukan Dovetail menggunakan machine learning (ML).
Akun-akun yang dikais ML tidak melabeli akun-akun tersebut sebagai bot, namun berperilaku sama. Namun Schmidt mengatakan jika persentase akun bot di Instagram kurang lebih sama dengan estimasi yang ditemukan oleh Ghost Data.
Para peneliti yang mempelajari aktivitas bot mengatakan jika berita bohong dan propaganda yang menyebar saat pilpres Amerika Serikat (AS) tahun 2016, kebanyakan berupa artikel berita, gambar dan video.
Konten-konten tersebut berperan besar, sebab pesan yang ada di dalam gambar seperti dalam meme, sulit untuk dilacak dan diidentifikasi.
"Bot juga sangat bagus untuk menyebar luaskan," tutur Giovanni Ciampaglia, peneliti di Network Science Institute at Indiana University.
Ia mengatakan jika berita bohong dan propaganda politik sering diciptakan oleh manusia asli, bukan bot, untuk mengontrol akun media sosial. Lalu, akun bot berperan untuk menyebar luaskan konten berita bohong dan propaganda tadi.
Data bisa jadi dipegang oleh satu orang dan meminta "retweet" atau "like", seperti yang banyak dilakukan berita bohong atau propaganda.
Bagaimana dengan Facebook Sementara itu, masalah bot di platform induk Instagram, Facebook cukup sulit diidentifikasi.
Para peneliti mengatakan melacak bot di Facebook lebih sulit karena adanya kebijakan perlindungan privasi yang mencegah pihak luar seperti para peneliti untuk menganalisis akun.
Sementara Instagram tidak memiliki aturan yang sama. Namun, akun tak teridentifikasi (misclassified) atau tidak diinginkan (undesirable) di Facebook meningkat pada kuartal-III tahun 2017 menjadi 3 persen.
Facebook yang menaungi Instagram mengklaim telah mempekerjakan 10.000 orang untuk memindai bot dan perilaku berbahaya di jejaring sosial miliknya. Mereka berencana untuk melipat gandakan jumlah pekerja tahun depan ditambah dengan penggunaah tehnik matching-learning untuk mengidentifikasi akun palsu.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "95 Juta dari 1 Miliar Akun Instagram adalah Robot".
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR