Drone buatan mahasiswa Indonesia yang belajar di Manchester University, dipamerkan di kantor pusat Microsoft di Redmond, Washington, AS pada ajang Imagine Cup 2018 yang berlangsung 23-15 Juli 2018.
Drone tersebut memiliki fungsi untuk membantu petani dan perusahaan perkebunan, dalam hal penyemprotan pupuk atau pestisida (pembasmi hama).
Walau masih dalam bentuk purwarupa, namun drone ini telah menarik minat dari berbagai perusahaan perkebunan, Kementerian Pertanian, bahkan oleh e-commerce Tanah Air.
"Ini masih purwarupa, nanti kami kembangkan lagi lebih besar yang bisa bawa muatan pupuk lebih banyak lagi," kata M. Randi Ritvaldi, perancang sekaligus cofounder Beehive Drones, startup yang didirikan bersama Albertus Gian, Ishak Hilton, dan Anindita Suteja.
Drone penebar pupuk memiliki enam lengan baling-baling (hexacopter) dengan wadah (kontainer) di bawah bodi utamanya untuk mengangkut pupuk. Di dalam bodi drone terdapat komputer, antena receiver, baterai, dan sensor-sensor yang dibutuhkan, seperti gyro dan sensor proximity.
Selain itu ada pula kamera untuk kebutuhan surveillance dan tentu saja fixed landing gear. Tim BeeHive Drones melengkapi komputer drone dengan sistem kecerdasan buatan (AI/artificial intelligence).
Teknologi AI berguna untuk melakukan kalkulasi, bagaimana cara menyemprot pupuk, atau pembasmi hama secara efisien. Pupuk atau pestisida dipompa dari dalam kontainer ke sebuah selang yang menjulur ke masing-masing enam lengan drone.
Jumlah semprotan yang dikeluarkan dikalkulasi oleh komputer. Dipadukan dengan data ketinggian, kecepatan, kondisi tanah, dan sebagainya, sehingga didapat pola penerbangan yang efisien untuk menyemprotkan pupuk/pestisida, baik dari segi waktu maupun biaya.
Data pertanian yang dikumpulkan oleh BeeHive Drones pun dijamin keamanannya, tidak dibagikan ke pihak lain. Coding membuat kecerdasan buatan yang bisa mengkalkukasi efisiensi penyemprotan pupuk/pestisida inilah yang menjadi tugas Ishak.
Sementara menurut Albertus, CEO Beehive Drones, untuk lahan satu hektar, jika biasanya petani membutuhkan biaya Rp 1 juta untuk pupuk/pestisida, maka dengan solusi drone miliknya itu hanya butuh sekitar Rp 700.000, atau lebih hemat sekitar 30 persen.
Dari segi waktu, Albertus mengklaim jika biasanya butuh waktu satu jam untuk menyemprot satu hektar lahan dengan tenaga manusia, maka drone miliknya hanya membutuhkan waktu 30 menit.
Dalam model bisnis yang dipaparkan oleh Anindita, drone "diparkir" di stasiun drone yang berada di tengah-tengah kawasan pertanian. Para petani atau pemilik sawah bisa mendaftarkan sawah mereka di aplikasi mobile, memilih layanan perawatan, dan membayar layanan itu lewat aplikasi yang sama.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR