Go-Jek akhirnya keluar “kandang”. Akhir Mei kemarin, sang CEO Nadiem Makarim menyebut Go-Jek siap menyambangi empat negara Asia Tenggara. “Konsumen paling bahagia ketika mereka punya pilihan, dan pada saat ini, orang-orang di Vietnam, Thailand, Singapura dan Filipina tidak merasa bahwa mereka mendapatkan cukup banyak pilihan dalam bepergian” ungkap Nadiem.
Agustus ini, Go-Jek resmi hadir di Vietnam, disusul September nanti di Thailand. Agar proses berjalan mulus, Go-Jek akan melibatkan tim lokal di masing-masing negara, bahkan mengganti nama layanannya. Di Vietnam, Go-Jek akan berubah nama menjadi Go-Viet, sementara di Thailand akan menjadi Get.
Ekspansi Go-jek ke negara di luar Indonesia memang sudah lama terdengar. Momentum kian terbentuk setelah Uber memutuskan keluar dari kawasan Asia Tenggara dan melakukan merger dengan Grab.
Praktis, Grab menjadi penguasa pasar ride-sharing di semua negara di Asia Tenggara, kecuali Indonesia. Dominasi Grab pun memancing kekhawatiran pengguna maupun pemerintah beberapa negara seperti Singapura dan Thailand. Dikhawatirkan, monopoli ini akan membuat Grab dapat menekan pasar, termasuk dengan menaikkan harga.
Semua faktor ini membuat ekspansi Gojek menjadi lebih mudah. Dengan menghadirkan layanan saingan, Gojek akan menjadi pesaing serius bagi Grab di kawasan Asia Tenggara. Dana sebesar US$500 juta atau sekitar Rp.7,5 trilyun siap digelontorkan untuk ekspansi ini.
Akan tetapi, bagaimana peluang Go-jek di luar kandangnya?
Vietnam: Turunnya Kualitas
Data yang dirilis Statistika sendiri menyebut, pengguna layanan ride-sharing di Vietnam sekitar 3,2 juta pengguna di tahun 2018 ini, dengan ARPU (Average Revenue per User) di kisaran US$11,6. Di tahun 2018, angka ini akan bergerak ke angka 5 juta pengguna dengan ARPU US$13.
Sepeninggal Uber, seluruh pasar di pasar sebesar itu praktis menjadi milik Grab. Sebenarnya ada Vato, layanan ride-sharing lokal yang hadir sesaat setelah Uber merger dengan Grab.
“Vato awalnya banyak menarik perhatian karena timing-nya, namun ternyata tidak banyak mengubah keadaan” ungkap Matthew Underwood (Managing Director, Matterhorn Communication), yang telah tinggal di Ho Chi Minh City sejak 14 tahun lalu itu. Perusahaan taksi konvensional seperti Vinasun dan Mai Linh sebenarnya juga memiliki layanan on-demand, namun kehadiran Grab berefek besar terhadap keuangan kedua perusahaan ini. Praktis, para pemain konvensional ini tak bisa lagi banyak bermanuver.
Tak heran jika saat ini, konsumen Vietnam sebenarnya menunggu pilihan alternatif. Apalagi sepeninggal Uber, kualitas layanan yang terasa menurun. “Saat ini mendapatkan Grab semakin sulit, driver sering melakukan cancel, dan surcharges (tarif yang naik ketika permintaan meningkat, Red) semakin sering terjadi ” ungkap Matthew.
Ketika Uber masih beroperasi, kelangkaan armada sebenarnya tidak terjadi. Namun kini, seringkali muncul situasi ketika tidak ada driver sama sekali di sekeliling pengguna. “Asumsi saya, Grab tidak bisa menarik dan mempertahankan mantan driver Uber” tambah Matthew. Struktur komisi di Grab yang lebih rendah sering disebut sebagai penyebab utama tersendatnya penggabungan layanan Grab dan Uber di Vietnam.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR