Perang dagang Amerika Serikat (AS) vs Tiongkok terus bergejolak dan mengkhawatirkan para pengusaha yang terus merugi karena penetapan tarif impor yang sangat mahal.
Sayangnya, kedua belah pihak tidak menunjukan tanda-tanda untuk berdamai. Bahkan, Donald Trump (Presiden AS) akan menambahkan tarif impor kembali kepada Tiongkok dan
memaksa perusahaan AS yang berada dan memproduksi barangnya di Tiongkok untuk pulang kampung.
Trump pun memaksa Apple untuk memindahkan basis produksinya dari Tiongkok ke AS karena saat ini Apple masih mengandakan perusahaan perakitan Foxconn untuk merakit
iPhone, iPad, MacBook dan Apple Watch di Tiongkok.
"Buat produk Anda di AS dan bukannya di Tiongkok. Mulai bangun pabrik sekarang," tulis Trump di Twitter.
Para analis menghitung biaya produksi iPhone di AS tidak akan jauh berbeda dari biaya produksi di Tiongkok.
Pada 2016, MIT Technology Review menyebutkan bahwa biaya untuk memproduksi iPhone di AS menggunakan komponen impor dari luar negeri hanya akan menaikkan biaya produksi USD30 atau Rp445 ribu - USD40 atau Rp593 ribu.
Hal itu bukanlah masalah, mengingat margin keuntungan Apple dari penjualan iPhone sebesar 64 persen.
Namun, Vox mengungkapkan permasalahan sesungguhnya mengapa Apple memproduksi perangkatnya di Tiongkok bukan terletak pada biaya produksi dan komponen impor tetapi
Tiongkok memiliki kemampuan, skala produksi, keahlian dan infrastruktur.
"Tiongkok memiliki itu semua. Sementara untuk menyediakan semua hal itu di AS, diperlukan waktu yang tidak sebentar dan uang yang tidak sedikit," lapor Vox.
Dengan kata lain, jika Apple ingin memproduksi iPhone di AS, Apple harus membangun jaringan dan infrastruktur dari nol.
Tentunya, itu akan memakan waktu dan pasar sudah tidak sabar menunggu produk-produk Apple.
Selain itu, Tiongkok hanya mengambil untung USD8 atau sekitar Rp119 ribu per-iPhone. Jadi, mengembangan jaringan manufaktur di AS bukan tindakan cerdas untuk Apple.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR