Sebagai perusahaan software terbesar di dunia, Microsoft memiliki dana, talenta, dan sumber daya luar biasa untuk membuat software dan algoritma yang rumit. Algoritma itu pun menjadi aset terpenting Microsoft, yang kemudian dipegang erat atau dimonetisasi dalam bentuk lisensi.
Hal ini pula yang menjelaskan mengapa Microsoft mengambil jarak dengan komunitas open source yang memiliki misi menyebarkan software dan algoritma secara gratis.
Akan tetapi, belakangan sikap Microsoft terhadap komunitas open source mulai berubah. Mereka kian terbuka dengan komunitas open source, seperti tercermin dari keputusan mereka yang baru-baru ini bergabung dengan Open Invention Network (OIN).
Bahkan untuk menunjukkan itikad baiknya, Microsoft melepas 60 ribu patennya menjadi open source di OIN ini.
Langkah ini menjadi signifikan karena berarti semua pihak yang bergabung ke OIN bisa memanfaatkan paten yang sebelumnya menjadi milik Microsoft tersebut. Saat ini, ada sekitar 2650 perusahaan yang bergabung dengan OIN, seperti Google, IBM, NEC, Philips, Sony, dan Toyota. Namun banyak pula perusahaan kecil yang tidak memiliki cukup talenta untuk membuat algoritma.
Dengan dilepasnya 60 ribu paten tersebut, semua anggota OIN bisa menggunakannya tanpa harus membayar royalti.
Jika menengok ke belakang, ada banyak indikasi yang menunjukkan Microsoft kian ramah dengan komunitas open source. Awal tahun 2016, Microsoft menggandeng Canonical untuk menghadirkan Ubuntu di Windows 10. Azure, layanan cloud Microsoft, juga mendukung berbagai sistem operasi Linux seperti FreeBSD.
Tentu saja, Microsoft memiliki banyak software dan paten yang masih bisa dimonetisasi. Contohnya Microsoft mendapatkan US$8 untuk setiap smartphone Android yang terjual karena sebagian algoritma di dalam Android menggunakan algoritma miliki Microsoft.
Namun dengan kian akurnya Microsoft dengan ekosistem open source, semoga akan lahir software yang bisa menjawab tantangan di dunia saat ini.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR