Find Us On Social Media :

Memahami Industri 4.0

By Liana Threestayanti, Jumat, 23 November 2018 | 17:00 WIB

Smart factory concept. Internet of Things. Information Communication Technology.

Revolusi Industri 4.0 mulai kencang digaungkan di manca negara, tak terkecuali di Indonesia. Apa itu Industri 4.0?

Terminologi "Industri 4.0", atau seringkali disingkat menjadi I4.0 atau I4, pertama kali diperkenalkan di ajang pameran industri manufaktur dunia Hannover Fair 2011 sebagai inisiatif pemerintah Jerman untuk memanfaatkan teknologi tinggi, terutama komputerisasi, di sektor manufaktur.

Angka 4.0 di belakang kata Industri tentu langsung menggiring opini kita bahwa konsep ini merupakan kelanjutan dari revolusi industri ketiga.

Seperti kita ketahui, industri global telah mengalami tiga kali revolusi. Dimulai dari penemuan mesin uap di tahun 1800an  yang mendorong mekanisasi di bidang industri di mana tenaga manusia dan hewan digantikan oleh mesin. Revolusi industri kedua ditandai dengan penemuan pembangkit listrik dan combustion chamber. Dan revolusi industri ketiga terjadi dengan munculnya teknologi digital dan internet. Fase keempat revolusi industri ini memanfaatkan digitalisasi dan penggunaan internet yang terjadi di fase revolusi ketiga.

Ada pula yang mendefinisikan Industri 4.0 sebagai jaringan pintar yang terdiri dari mesin dan proses industri, yang didukung oleh teknologi informasi dan komunikasi. Atau secara lebih spesifik, Industri 4.0 juga seringkali dikaitkan dengan  tren otomatisasi dan pertukaran data, terutama dalam konteks teknologi manufaktur. Industri 4.0 disebut sebagai basis perkembangan smart factory.

Produk Personal di Lingkungan Produksi Massal

Jika definisi tersebut masih agak sulit dipahami, Clas Neumann, SVP Head of Global SAP Labs Network, SAP (China) Co. Ltd. menyebut Adidas Smart Factory sebagai salah satu contoh terbaik aplikasi Industri 4.0. Pabrik pintar milik produsen sepatu itu mampu memproduksi sepatu dengan spesifikasi unik dalam skala yang tidak terlalu besar.

“Industri 4.0 adalah jika sebuah pabrik, misalnya, dapat membuat produk yang terpersonalisasi di lingkungan manufaktur produksi massal. Konsep lots size of one merupakan ide sentral di balik Industri 4.0,” ujar Clas dalam sebuah wawancara dengan majalah InfoKomputer.  

Tak mengherankan jika di masa depan akan makin banyak pabrik-pabrik berskala kecil yang lokasinya pun makin dekat dengan pelanggan. Bukan hanya ongkos distribusi menjadi lebih murah dan waktu pengiriman bisa dipangkas, tetapi kemampuan pabrik-pabrik ini untuk menghasilkan produk-produk yang lebih terpersonalisasi  juga menjadi keunggulan kompetitifnya

“Dan bagi perusahaan manufaktur yang berproduksi massal, seperti banyak ditemui di China, mungkin tren ini dilihat sebagai satu ancaman. Kita tidak lagi membutuhkan pabrik yang mampu memproduksi jutaan sepatu dalam satu model yang sama,” imbuh pria yang juga menjabat sebagai Head of Fast Growth Market Strategy Group ini.

Namun kehadiran pabrik-pabrik Industri 4.0 ini juga bisa menjadi peluang untuk melayani pasar lokal. Bagi negara dengan pasar domestik yang sangat besar, hal ini tentau akan lebih menguntungkan karena tidak perlu lagi mengimpor produk dan bisa menghidupkan industri lokal.

Tantangan Keahlian

Adapun tantangan yang mungkin akan dihadapi perusahaan adalah ketersediaan skill. Ketika industri secara bersama-sama bergerak ke arah digital, keahlian di bidang software engineering menjadi sangat dibutuhkan. Sebelumnya, perusahaan mungkin dapat mengandalkan dukungan vendor TI, seperti SAP. Kini, tiap perusahaan mempunyai divisi Software Development sendiri sehingga memicu jumlah permintaan yang sangat besar untuk skill ini.

“Tidak mudah untuk memperoleh orang dengan skill TI yang bagus. Jadi isu utamanya adalah bagaimana membangun skill yang memadai secara cepat,” jelas Clas Neumann.

Hal lain adalah bagaimana perusahaan meningkatkan skill dari karyawan yang ada karena mereka membutuhkan keahlian-keahlian baru yang mungkin belum pernah mereka lakukan sebelumnya. “Sebelum ini, para pekerja di pabrik sudah sangat memahami teknologi assembling. Tapi sekarang mereka juga  harus belajar, misalnya, bagaimana berkomunikasi dengan robot,” Clas menambahkan.

Membantu  mengatasi kelangkaan keahlian itu, SAP menggelar program University Alliance. Program ini memampukan institusi pendidikan mengintegrasikan pengetahuan tentang teknologi terkini dari SAP dalam proses belajar mengajar di kampus.  

Untuk mendukung Industri 4.0 dari sisi teknologi, SAP menawarkan solusi yang dikelompokkan menjadi tiga: ERP & Digital Core, Data Hub, dan Cloud Platform.

Digital Core merupakan skenario utama yang dibutuhkan setiap perusahaan, yaitu ERP, dan dapat diimplementasikan di lingkungan on premises maupun cloud.  Sedangkan Data Hub adalah solusi untuk sharing, pipelining, dan orkestrasi data sehingga data dapat mengalir di antara berbagai lanskap data modern dengan ragam data yang bermacam-macam.  Cloud Platform berisi aneka macam software yang dikembangkan oleh SAP maupun para mitranya, sesuai kebutuhan pelanggan.