Petuah klasik mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin selama kita berusaha. Agaknya kalimat ini mujarab bagi Hastu Wijayasri, Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN) Yogyakarta.
Dengan percaya diri, Hastu yang ditemani seorang juru bahasa isyarat naik ke panggung Google Developer Showcase yang digelar di Jakarta, Kamis.
Ia bergabung bersama panelis lain, yakni Maclaurin Hutagalung, Tasya Nurintan, dan Ibnu Sina Wardy.
Mereka semua adalah para pengembang aplikasi didikan program-program Google, termasuk Hastu, seorang yang memiliki disabilitas tunarungu dan tunawicara tapi berhasil menjadi programer perempuan.
Ia sendiri merupakan anggota Developer Student Club (DSC) yang menjadi salah satu program Google untuk developer Indonesia.
Melalui bantuan penerjemah, Hastu berkisah perkenalan pertamanya dengan dunia coding adalah saat mengikuti acara workshop yang diadakan DSC di Yogyakarta.
Meski komputer bukanlah hal baru baginya, namun untuk kegiatan coding atau membuat aplikasi, Hastu mengaku sangat asing.
Mahasiswi semester tiga program Teknik Informatika ini mulai memberanikan diri untuk mendalami dunia pengembangan aplikasi sejak masuk kuliah tahun 2017. Ia bergabung dengan kelas pelatihan developer, dipimpin mentornya yang akrab disapa Mas Aulia.
Di dalam kampus, Hastu juga aktif mengikuti kegiatan di antara penyandang difabel lain di kampusnya, salah satunya adalah organisasi Pusat Layanan Difabel.
Keikutsertaan dirinya dalam organisasi itulah yang mendorong Hastu untuk membuat sesuatu yang bermanfaat bagi teman-teman difabel lain, salah satunya lewat sebuah aplikasi.
Bersama Tesya Nurintan, yang menjabat sebagai DSC Lead UIN Yogyakarta, ia membuat proyek aplikasi bernama Sukacare. Nama "Suka" diambil dari akronim Sunan Kalijaga, tempat Hastu dan Tesya mengenyam ilmu.
Aplikasi ini merupakan wadah interaktif para mahasiswa difabel, khususnya penyandang tunanetra di UIN untuk memperoleh materi kuliah lebih mudah. Tesya menjelaskan bahwa akan ada dua aplikasi, untuk volunteer dan difabel.