Tahun 2019 diawali dengan optimisme terhadap prospek sosial dan ekonomi masyarakat, seperti kemunculan inisiatif teknologi yang menjadi penggerak Revolusi Industri 4.0.
Artificial Intelligence (AI), Mixed Reality (MR) dan Internet of Things (IoT) yang banyak diadopsi perusahaan tidak hanya menjadi pendorong utama transformasi digital tetapi juga menciptakan dampak positif yang berkelanjutan terhadap cara masyarakat bekerja, hidup, terhubung dan bermain.
Dengan dukungan instrumen kebijakan pemerintah, Indonesia merupakan salah satu negara yang terus mengadopsi teknologi.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pembelanjaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang terus meningkat, dimulai dari 5,1% pada kuartal pertama hingga 5,3% pada kuartal kedua tahun 2018.
Sementara itu, International Data Corporation (IDC) memprediksi jumlah total anggaran pembelanjaan teknologi juga akan menyentuh angka US$266 juta pada tahun 2021 dengan pembelanjaan ke layanan komputasi awan, peranti keras, peranti lunak, dan layanan cloud-enabling.
Haris Izmee selaku Presiden Direktur Microsoft Indonesia, mengatakan “Kita melihat semakin banyak perusahaan yang mengadopsi teknologi untuk menjawab tantangan-tantangan yang hadir di era disrupsi ini."
"Beberapa industri bahkan tidak hanya terdisrupsi, tetapi juga berevolusi, sehingga adopsi teknologi dan proses digital diperlukan untuk tetap relevan dan kompetitif dengan perkembangan teknologi, tambah Izmee.”
Izmee juga menjelaskan bahwa untuk merespon disrupsi ini, dapat menerapkan yang namanya tech intensity.
Tech intensity merupakan sebuah terminologi ciptaan Satya Nadella, CEO Microsoft, yang mendorong perusahaan untuk mempercepat adopsi teknologi agar kemudian fokus membangun kemampuan digital masing-masing.
Lebih lanjut, terdapat pula lima keputusan teknologi yang sejalan dengan tech intensity. Inilah lima keputusan tersebut.
1. Modernisasi strategi data
Data adalah kunci proses pertumbuhan perusahaan. Pada sejumlah organisasi besar di Asia-Pasifik, yang sering menjadi tantangan bukan ketersediaan data, melainkan tenaga yang dibutuhkan untuk mengelola data perusahaan yang bertambah.