Find Us On Social Media :

Era Disrupsi, Inilah 5 Keputusan yang Patut Dipertimbangkan oleh CEO

By Rafki Fachrizal, Selasa, 8 Januari 2019 | 11:59 WIB

Ilustrasi Digital Disruption

Tahun 2019 diawali dengan optimisme terhadap prospek sosial dan ekonomi masyarakat, seperti kemunculan inisiatif teknologi yang menjadi penggerak Revolusi Industri 4.0.

Artificial Intelligence (AI), Mixed Reality (MR) dan Internet of Things (IoT) yang banyak diadopsi perusahaan tidak hanya menjadi pendorong utama transformasi digital tetapi juga menciptakan dampak positif yang berkelanjutan terhadap cara masyarakat bekerja, hidup, terhubung dan bermain.

Dengan dukungan instrumen kebijakan pemerintah, Indonesia merupakan salah satu negara yang terus mengadopsi teknologi.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pembelanjaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang terus meningkat, dimulai dari 5,1% pada kuartal pertama hingga 5,3% pada kuartal kedua tahun 2018.

Sementara itu, International Data Corporation (IDC) memprediksi jumlah total anggaran pembelanjaan teknologi juga akan menyentuh angka US$266 juta pada tahun 2021 dengan pembelanjaan ke layanan komputasi awan, peranti keras, peranti lunak, dan layanan cloud-enabling.

Haris Izmee selaku Presiden Direktur Microsoft Indonesia, mengatakan “Kita melihat semakin banyak perusahaan yang mengadopsi teknologi untuk menjawab tantangan-tantangan yang hadir di era disrupsi ini."

"Beberapa industri bahkan tidak hanya terdisrupsi, tetapi juga berevolusi, sehingga adopsi teknologi dan proses digital diperlukan untuk tetap relevan dan kompetitif dengan perkembangan teknologi, tambah Izmee.”

Izmee juga menjelaskan bahwa untuk merespon disrupsi ini, dapat menerapkan yang namanya tech intensity.

Tech intensity merupakan sebuah terminologi ciptaan Satya Nadella, CEO Microsoft, yang mendorong perusahaan untuk mempercepat adopsi teknologi agar kemudian fokus membangun kemampuan digital masing-masing.

Lebih lanjut, terdapat pula lima keputusan teknologi yang sejalan dengan tech intensity. Inilah lima keputusan tersebut.

1. Modernisasi strategi data

Data adalah kunci proses pertumbuhan perusahaan. Pada sejumlah organisasi besar di Asia-Pasifik, yang sering menjadi tantangan bukan ketersediaan data, melainkan tenaga yang dibutuhkan untuk mengelola data perusahaan yang bertambah.

Industri perbankan misalnya, membutuhkan alat untuk melacak dan menganalisis data acak dari berbagai saluran seperti perangkat, touchpoint terbaru pelanggan dan arus data pihak ketiga.

Selain itu, perbankan juga mempertimbangkan sumber daya tambahan untuk mengatasi kenaikan persyaratan peraturan dan kepatuhan.

2. Mempercepat adopsi cloud secara menyeluruh

Dari awal kemunculan platform cloud, banyak CEO yang mempertanyakan risiko keamanan data serta kepatuhan terhadap regulasi.Sebenarnya, perusahaan kini dapat memilih untuk mengaplikasikan strategi Hybrid Cloud yang memungkinkan pembagian data dan aplikasi di dua domain tersebut. 

Selain itu, Hybrid Cloud juga memberikan perusahaan kemampuan untuk mengukur infrastuktur on-premise mereka melalui public cloud secara mulus tanpa harus memberikan akses pusat data kepada pihak ketiga, serta tetap patuh terhadap regulasi yang berlaku.

3. Pengembangan Keterampilan Digital Tenaga Kerja

Para CEO perlu memprioritaskan pengembangan keterampilan tenaga kerja agar terjadi kesinambungan antara kemampuan pekerja dan proses transformasi.

Contohnya, tahun ini Microsoft Indonesia mendukung Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui penyediaan Digital Talent Scholarship yang memberikan kursus intensif di bidang teknologi di kampus ternama di Indonesia.

4. Menumbuhkan pola pikir digital

Menurut Peter Drucker, Culture eats technology for breakfast. Makna dari istilah ini adalah sebesar apapun pengaplikasian teknologi tidak akan mampu mentransformasi perusahaan ke arah digital secara menyeluruh apabila tidak dibarengi dengan perubahan budaya. Maksud budaya di sini adalah budaya yang menerapkan pola pikir terbuka dan menyukai eksperimen.

5. Organisasi digital ditandai dengan kepercayaan

Organisasi membutuhkan tahunan untuk membangun kepercayaan, yang ironisnya dapat dihancurkan dalam sekejap mata.

Kepercayaan merupakan hal yang krusial bagi organisasi digital yang tidak hanya rentan terhadap serangan dunia maya tetapi juga menghadapi tantangan lain seperti regulasi yang terus berubah serta ekspektasi kepatuhan etika dalam transaksi online dan penanganan data konsumen.

Sebagai navigator dalam perusahaan, CEO merupakan penanggung jawab kepercayaan pelanggan dan perlu memastikan bahwa semua unsur kepercayaan yang diantaranya keamanan, privasi, reliabilitas, transparansi, kepatuhan dan etika, semenjak awal telah tertanam pada inisiatif-inisiatif transformasi digital.