Panasnya perang dagang antara AS dan China semakin membuat "gerah" para pelaku industri, tak terkecuali industri teknologi.
Akibat perang dagang dua negara ekonomi terbesar tersebut, para manufaktur semi-konduktor berbondong-bondong keluar dari China.
Pasalnya, kedua negara super-power tersebut saling menerapkan serangkaian tarif impor untuk produk-produk strategis, termasuk komponen semi-konduktor yang dipasang di produk elektronik.
Seperti diketahui, banyak komponen gadget diimpor dari China untuk kemudian dikirim ke AS. Hal inilah yang mengancam para investor dan meresponnya dengan upaya relokasi pabrik untuk menghindari kenaikan tarif impor.
Sejauh ini, beberapa pabrik asal Taiwan seperti Delta Electronics, Quanta Computer, dan Pegatron telah merencanakan relokasi pabrik kembali ke Taiwan.
Namun, di negara asal perusahaan tersebut sedang mengalami kekurangan pasokan listrik dan ketersediaan tanah.
Terlebih, ketersediaan tenaga kerja mumpuni di sana juga menjadi masalah lain. Sebenarnya, mereka bisa saja merekrut pekerja asing untuk mengisi lini produksi.
Namun hal itu sulit dilakukan karena sesuai aturan yang berlaku, proporsi pekerja lokal harus lebih banyak dibanding pekerja asing.
Para pabrikan mengaku kesulitan mencari pekerja dengan skill dan pengalaman yang memadai di Taiwan. Alhasil, banyak dari perusahaan tersebut memindahkan pabriknya ke Asia Tenggara yang memiliki sumber daya manusia yang lebih mumpuni serta biaya manufaktur yang murah.
Pegatron misalnya, pada akhir tahun lalu disebut akan berinvestasi di Indonesia. Hal ini dinyatakan oleh Direktur Industri Elektronika dan telematika Kemenperin, R. Janu Suryanto.
"Tentu bagus buat investasi, selain itu sebelumnya Pegatron memang sudah menyatakan tertarik untuk ke Indonesia," ungkapnya.
Bursa Efek Indonesia (BEI) juga membenarkan bahwa PT Sat Nusapersada Tbk (PTSN) mendapat kontrak dari Pegatron Corporation.