Find Us On Social Media :

Ditarik Pajak Online, Ketua idEA: Kami Deg-degan dan Bisa Mati

By Adam Rizal, Senin, 14 Januari 2019 | 14:11 WIB

Ilustrasi e-commerce vs media sosial

Kehadiran platform e-commerce dan market place menawarkan manfaat yang besar bagi Indonesia karena jutaan para pelaku UMKM tidak perlu menyewa toko, minimnya pegawai, biaya promosi yang terjangkau dan masyarakat yang sudah mulai sadar dengan jualan online.

Studi McKinsey melaporkan platform online bisa mencipatakan 26 juta lapangan pekerjaan baik langsung dan tidak langsung.

Namun, Keputusan pemerintah menerbitkan PMK No.210/PMK.010/2018 tentang perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) menjadi petir di siang bolong bagi industri e-commerce Indonesia yang dibawah nauangan Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA).

Keputusan pemerintah yang ingin menarik pajak e-commerce sangat tidak tepat karena dapat mengancam bisnis dan hidup para pedagang online yang usianya masih relatif baru.

Studi idEA di 18 kota di Indonesia mengungkapkan 80 persen dari para pelaku UMKM masih kategori mikro, 15 persen masih kategori kecil dan 5 persen baru masuk usaha menengah.

Ignatius Untung (Ketua idEA) mengatakan saat ini 80 persen para pelaku UMKM online itu masih berjuang untuk bertahan, menguji model bisnis dan belum bisa membesarkan usahanya. Jika ditarik pajak sekarang dan harus mendaftar serta menyetorkan NPWP segala itu sangat memberatkan mereka.

"80 persen pedagang online itu adalah pedagang mikro yang usahan-nya masih baru dan masih coba-coba. Belum tentu mereka bisa bertahan dalam beberapa bulan ke depan. Mereka lebih baik gulung tikar jika 'dipaksa' ngurus NPWP," ucapnya.

"Kami deg-degan dan bisa mati. Bayangkan!, kalau 80 persen atau setengahnya para pelapak mikro itu menutup lapaknya di toko online. Itu bisa mengancam bisnis perusahaan e-commerce itu sendiri yang susah payah mengumpulkan para pelapak online," ujarnya.

Kesiapan Sistem

"Bagaimana kesiapan sistemnya. Bisa saja orang menggoogling nomor NPWP orang lain di Google dan mencatut nomornya supaya bisa jualan di online. Bila tidak ada kartu NPWP, bisa dengan KTP, bagaimana jika KTP-nya palsu?. Apakah sistem DJP sudah siap? Apakah sudah terintegrasi dengan Dukcapil di waktu yang mepet ini?" ucapnya.

"Jika ada kesalahan sistem baik nomor NPWP-nya atau KTP-nya tidak cocok atau kesalahan teknis lainnya, maka jualan online bisa berhenti. Ini sangat mengganggu tentunya," ucapnya.

Kendala lainnya, idEA melihat perusahaan e-commerce di Indonesia mendapatkan tugas tambahan dari pemerintah untuk mengumpulkan atau menyetorkan kartu NPWP pelapaknya.