Find Us On Social Media :

Diminta Tunda Pungut Pajak Online, Ini Respon Tegas Pemerintah

By Adam Rizal, Selasa, 15 Januari 2019 | 06:26 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta perusahaan e-commerce untuk mau melaksanakan peraturan tersebut supaya ada kesetaraan dengan pelaku usaha lainnya

Keputusan pemerintah menarik pajak bisnis jual beli daring (online) atau e-commerce telah menulai kritikan dan penolakan dari perusahaan e-commerce. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menilai peraturan pajak online itu akan mengancam bisnis dan hidup para pedagang online yang usianya masih relatif baru.

Apalagi peraturan pajak online yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik itu akan berlaku pada 1 April 2019.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan peraturan tersebut hanya mempertegas tata laksananya saja. Sesuai pasal 2 beleid tersebut, sistem perpajakan di e-commerce meliputi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPh).

"Kami tidak melakukan perpajakan baru, yang mungkin sekarang ini sedang diributkan tapi yang kami atur adalah tata laksananya," kata Sri Mulyani dalam acara seminar di Jakarta, Senin.

Sri Mulyani yang kerap disapa Ani meminta perusahaan e-commerce untuk mau melaksanakan peraturan tersebut supaya ada kesetaraan dengan pelaku usaha lainnya. Peraturan mengenai perpajakan e-commerce bukanlah hal yang mudah karena isu pajak e-commerce saat ini sedang dibahas secara internasional.

"Isu mengenai perpajakan e-commerce merupakan isu yang sedang dibahas secara internasional," ujarnya.

Ani mengatakan permasalahan pajak e-commerce merupakan hal sensitif di Indonesia dan pemerintah menyusun peraturan itu dengan sangat hati-hati supaya iklim investasi ekonomi digital di Indonesia tidak terganggu.

"Masalah perpajakan itu bukanlah hal mudah karena peraturan perpajakan sangat sensitif di Indonesia. Ngomongi pajak membuat orang kepalanya langsung 'korslet' dan tidak lagi bisa diajak berpikir juga cenderung takut," katanya.

"Padahal kami kalau memungut pajak juga dengan sangat hati-hati. Saya selaku Menteri Keuangan juga harus menjaga iklim investasi," ucapnya.

Selain itu, tata caranya juga terbilang serupa dengan badan usaha lain, yakni; wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), mau memungut PPN dan PPh terkait penjualan barang dan penyediaan layanan platform marketplace, dan wajib melakukan rekapitulasi transaksi setiap periodenya.

Karena itu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu meminta para pengusaha dan investor di bidang e-commerce tidak perlu takut mengenai isu perpajakan karena pajak juga menjadi instrumen penting bagi negara untuk bisa menata dan membangun Indonesia. Peraturan pajak online itu juga akan membantu para pelaku usaha bisa menjalankan hak dan kewajiban perpajakan dengan mudah sesuai model transaksi.

"Peraturan ini akan membantu e-commerce memiliki comparative advantage di Indonesia dibandingkan negara lain," pungkasnya.

Kesamaan perlakuan pajak, kata Ani, bukan berarti pemerintah mengesampingkan sektor ekonomi digital. Pemerintah telah menambahkan sektor ekonomi digital ke dalam fasilitas pembebasan atau pengurangan Pph (tax holiday) pada pengumuman paket kebijakan XVI akhir tahun lalu.

"Indonesia diharapkan bisa merupakan destinasi investasi menarik. Amazon mau masuk ke sini, Apple mau masuk ke sini sehingga mereka tertarik dengan membandingkan keunggulan komparatif Indonesia dibanding negara lain," pungkasnya.

Kaji Ulang

Studi idEA di 18 kota di Indonesia mengungkapkan 80 persen dari para pelaku UMKM masih kategori mikro, 15 persen masih kategori kecil dan 5 persen baru masuk usaha menengah.

Ignatius Untung (Ketua idEA) mengatakan saat ini 80 persen para pelaku UMKM online itu masih berjuang untuk bertahan, menguji model bisnis dan belum bisa membesarkan usahanya.

"80 persen pedagang online itu adalah pedagang mikro yang usahan-nya masih baru dan masih coba-coba. Belum tentu mereka bisa bertahan dalam beberapa bulan ke depan. Mereka lebih baik gulung tikar jika 'dipaksa' ngurus NPWP," ucapnya.

"Kami deg-degan dan bisa mati. Bayangkan!, kalau 80 persen atau setengahnya para pelapak mikro itu menutup lapaknya di toko online. Itu bisa mengancam bisnis perusahaan e-commerce itu sendiri yang susah payah mengumpulkan para pelapak online," ujarnya.

Karena itu, idEA memintah pemerintah untuk menunda keputusan itu dan mengkaji ulang. idEA siap duduk bersama dengan pemerintah untuk membuat kajian yang memuat tentang dampak, kesiapan dan resiko lainnya.

"Kami meminta (peraturan) ini ditunda dan dikaji ulang hingga studi kelayakan ini rampung dibuat," ujarnya.

Ignatius mengatakan proses pembuatan kajian itu memakan waktu yang tidak sedikit karena harus melibat banyak pihak seperti pemerintah baik kementerian keuangan, dirjen pajak, dukcapil dll dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

"Berdiskusi dengan YLKI bisa 3 bulanan dan studi lainnya bisa nambah 6 bulan. Paling cepat kebijakan ini bisa berlaku tahun depan. Kami pun perlu waktu untuk mensosialisaski regulasi ini dengan pelapak ini," ucapnya.