Belakangan ini, pinjaman online marak dibicarakan. Di satu sisi, pinjaman online menawarkan kemudahan dalam meminjam. Cukup pasang aplikasi dan mengirim kartu identitas, pinjaman bisa langsung keluar dalam hitungan menit.
Namun di sisi lain, kemudahan tersebut membuat banyak nasabah lupa diri. Mereka melakukan pinjaman ke beberapa pinjaman online, namun akhirnya gagal bayar.
Masalahnya, penagih pinjaman online bisa sangat galak dalam menagih. Meski jumlah tagihan tidak seberapa, penagih dapat meneror menggunakan kata-kata kasar dan melecehkan.
Hal inilah dialami Erna (bukan nama sebenarnya). Pada Maret 2018, perempuan berusia 26 tahun ini iseng meminjam uang dari layanan pinjaman online sebesar Rp.1,2 juta. Erna mengaku tertarik melakukan pinjaman karena tergiur kemudahan proses pinjaman. Hanya bermodal foto dan kartu identitas, ia sudah mendapatkan pinjaman uang. “Waktu itu saya juga membutuhkan uang untuk biaya hidup sehari-hari” ungkap Erna.
Kepincut dengan kemudahannya, Erna melakukan pinjaman lagi. Ia memprediksi, semua pinjaman tersebut masih akan terbayar saat nanti menerima gaji bulanan. Namun prediksi itu ternyata keliru. Karena beberapa alasan, Erna tidak mampu untuk melunasi pinjaman tersebut.
Untuk menutupi utang pertamanya, wanita yang bekerja sebagai pengajar di salah satu sekolah swasta di Depok kemudian melakukan pinjaman lain dari aplikasi serupa. Setidaknya, ada lima aplikasi yang ia gunakan untuk membayar hutang dan kebutuhan sehari-hari. “Gali lubang tutup lubang gitu-lah” ungkap Erna.
Petaka dimulai saat penagihan datang. Saat itu Erna sebenarnya telah melunasi hutang di beberapa aplikasi kecuali dua layanan dengan nominal Rp.1 juta dan Rp.1,8 juta. Meski waktu keterlambatan baru satu bulan, pihak penagih sudah melakukan langkah yang kelewatan.
Contohnya, penagih menggunakan data kontak yang ada di telepon genggam Erna tanpa izin dan mulai menghubungi orang-orang terdekat Erna. "Salah satu teman kerja saya ditelepon dan diancam. Jika teman saya ini sengaja menyembunyikan saya, maka semua fasilitas keuangan seperti kartu kredit, ATM, dan lainnya akan dibekukan," jelas Erna.
Penagih melakukan teror dengan menyebarkan pesan bernada melecehkan kepada seluruh kontak korban
Teror lainnya adalah sang penagih membuat satu grup Whatsapp yang isinya 250 kontak milik Erna. Di sana, sang penagih memberikan pesan berantai bernada ancaman. Bahkan pihak penagih mengirimkan foto diri Erna bertuliskan "MALING" dengan beberapa data pribadinya dan dikirim berantai ke seluruh kontak yang ada di telepon genggamnya. "Di kontak saya kan ada Ketua Yayasan, panik-lah semuanya. Mereka mengira saya hutang sampai ratusan juta," tambahnya.
Erna sendiri telah melakukan pengaduan ke Polda Metro Jaya atas pencemaran nama baik, namun tidak ada respon yang berarti. Di tengah kebingungan seperti itu, ia pun bergabung dengan puluhan korban lain yang mengadukan masalah ini Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Pelecehan Seksual
Penagihan dengan cara tidak mengenakkan juga dialami Fivi (bukan nama sebenarnya). Penagih berkali-kali melakukan panggilan telepon dengan nada ancaman, yang salah satunya direkam Fivi. Berdasarkan rekaman yang Fivi berikan kepada InfoKomputer, penagih menggunakan kata-kata kasar sekaligus melecehkan. Contohnya ucapan "udah, elo nari telanjang aja" dan kata-kata lain yang tidak pantas ditulis di sini.
Mirip seperti Erna, Fivi terjebak pinjaman online karena tergiur kemudahan yang diberikan. Awalnya, Fivi melakukan pinjaman sebesar Rp.500 ribu dengan tenor pinjaman 14 hari. Di akhir tenor, ia harus mengembalikan Rp.645 ribu (atau 130% dari nilai pinjaman).
Fivi berhasil membayar pinjaman pertama itu, yang kemudian mendorongnya melakukan pinjaman kedua sebesar Rp.800 ribu. Setelah pinjaman kedua lunas, ia melakukan pinjaman lagi dengan jumlah lebih besar. Begitu seterusnya sampai akhirnya pada pinjaman ke empat, Fivi bermasalah. Ia tidak bisa membayar pinjaman berikut bunga sebesar Rp.1,37 juta.
Di tengah kesulitan membayar pinjaman tersebut, tiba-tiba banyak perusahan pinjaman online yang menghubunginya via pesan singkat. Semua memberikan penawaran pinjaman yang sangat menggiurkan. "Saya bingung dari mana mereka mendapat nomor saya dan tahu tentang riwayat pinjaman saya," ungkap Fivi.
Fivi pun tergiur dengan tawaran tersebut, dan akhirnya mengajukan pinjaman ke beberapa aplikasi. Sayangnya, tidak semua aplikasi mampu terbayarkan. Di saat itulah Fivi mendapat teror, ancaman, dan pelecehan. Fivi sempat putus asa dan mencurahkan pengalamannya di laman Facebook pribadinya.
Tidak disangka, banyak yang merespon dan mengalami hal serupa. Dari situlah ia berinisiatif untuk mengumpulkan para korban penagihan perusahaan pinjaman online ini dan melaporkannya ke Lembaga Bantuan hukum (LBH) Jakarta. "Saat itu terkumpul sekitar 90 orang yang melapor," tambah Fivi.
BACA JUGA: Menanti perlindungan hukum bagi korban pinjaman online