Find Us On Social Media :

Sindir WhatsApp, Bos Telegram: Tidak ada Kata Aman di WhatsApp

By Adam Rizal, Sabtu, 18 Mei 2019 | 09:30 WIB

Pendiri Telegram Pavel Durov

Baru-baru ini, WhatsApp dilaporkan memiliki celah kemanan yang membuatnya berpotensi disisipi malware jenis mata-mata atau spyware lewat voice call. Kabar tersebut mengundang reaksi dari pesaingnya, Telegram.

Pendiri Telegram, Pavel Durov, mengatakan bahwa WhatsApp tidak akan pernah aman. Durov mengungkapkan pandangannya tentang WhatsApp dalam sebuah blog.

"WhatsApp itu punya riwayat yang konsisten, dari nol enkripsi hingga rentetan masalah yang anehnya cocok untuk kepentingan pengawasan," tulis Durov.

Setelah kabar spyware merebak, WhatsApp segera meminta para penggunanya di seluruh dunia untuk segera memperbarui aplikasi untuk menambal lubang keamanan.

Kabarnya, celah tersebut bisa dimanfaatkan oleh aktor negara untuk mengintai kalangan seperti para jurnalis, aktivis, dan sebagainya.

"Berita ini (spyware) tidaklah mengejutkan bagi saya. Tahun lalu, WhatsApp mengakui bahwa mereka punya masalah yang sama, video call via WhatsApp adalah akses yang dibutuhkan para peretas untuk masuk ke seluruh data pengguna," tulis Durov.

Durov pun menyindir tiap kali WhatsApp memperbaiki masalah kemanan, akan ada celah keaman baru lagi yang muncul. Ia juga membandingkan WhatsApp dengan aplikasi besutannya.

Berbeda dengan telegram, WhatsApp bukanlah aplikasi open source, sehingga para peneliti kemanan tidak bisa mengecek apakah ada "pintu rahasia" atau backdoor di kode WhatsApp yang bisa dipakai pihak tertentu untuk menyadap pengguna.

Diblokir bangsa sendiri Durov menyarankan Biro Investigasi Federal (FBI) di AS menekan pihak WhatsApp atau Facebook untuk memberikan backdoor, atau jalur rahasia agar bisa masuk ke sistem kemanan mereka.

"Bagi WhatsApp, menjadi layanan yang berorientasi pada privasi berisiko kehilangan seluruh pasarnya dan menyebabkan benturan antarotoritas di negara asal mereka," tulis Durov, sebagaimana dirangkum Gadgets 360.

Durov menambahkan, memang sulit membuat aplikasi komunikasi yang aman di AS. Ia mengisahkan saat timnya berada di AS selama satu pekan pada tahun 2016 silam, FBI sudah tiga kali mencoba melakukan infiltrasi ke mereka.

"Saya paham, agen kemanan menyetujui adanya "pintu belakang" sebagai upaya antiteror. Masalahnya, pintu tersebut juga bisa digunakan oleh penjahat dan pemerintah yang otoriter," jelas Durov.