Instagram tengah menguji coba fitur untuk menghilangkan jumlah "like" (penyuka) di postingan di beberapa negara sejak Juli lalu.
Alasannya, menampilkan jumlah like justru memicu gangguan kesehatan mental karena kompetisi adu jumlah like menimbulkan kecemburuan antar pengguna.
Sebenarnya, jumlah like tidak hilang namun hanya disembunyikan. Pemilik akun masih bisa melihat jumlah like dan siapa saja yang menyukai postingannya. Tapi tetap saja, sejumlah selebgram mengeluh tentang fitur ini.
Beberapa dari mereka yang terdampak merasa minim apresiasi karena jumlah like di postingan tidak terpampang seperti biasanya.
"Like adalah faktor motivasi. Sekarang (dengan tidak ada jumlah like) tidak ada penghargaan dari penonton di akhir pertunjukan," kata salah satu selebgram Kate Weiland.
Selebgram yang populer merasa kesulitan memetakan, apa yang disukai dan yang tidak disukai pengikutnya di Instagram.
Penting bagi seorang selebgram untuk mengikuti selera followers demi mempertahankan engagement.
Selebgram lain bahkan mengaku jumlah like yang diperoleh semakin menurun. Dalam sebuah survey terhadap selebgram Kanada yang menjadi salah satu negara uji coba fitur ini, disebutkan lebih dari separuh selebgram terdampak fitur penyembunyian like.
Lebih dari 50 persen selebgram mengaku pertumbuhan followers (pengikut) mereka juga melamban. Bagi selebgram, penyembunyian jumlah likes menjadi momok tersendiri.
Mereka cukup bergantung pada jumlah like dan komentar yang nangkring di setiap postingannya.
Sebab, dua elemen tersebut digunakan sebagai pengukur performa postingan yang nantinya "ditukarkan" dengan brand-brand tertentu, untuk mengampanyekan produknya.
Namun, seberapa berpengaruh hilangnya jumlah like terhadap brand?
Mike Blake-Crawfrod, direktur strategi di agensi sosial media marketing bernama Social Change, mengatakan bahwa like hanyalah satu di antara banyak metrik untuk mengukur performa postingan Instagram.
Ia hanya di level permukaan, sementara poin penting metrik lainnya adalah engagement dan klik yang dihasilkan melalui URL di setiap postingan.
Ketimbang jumlah like, para brand sebenarnya lebih menitik-beratkan keontetikan hubungan antara si selebgram dan para penggemarnya.
Mereka akan lebih tertarik melihat selebgram yang mampu membangun hubungan dengan para followers, dan mengajak mereka untuk mengklik iklan lalu membeli produk yang dititipkan brand ke selebgram.
Meski menuai protes, selebgram yang diwawancari Business Insider mengaku permintaan iklan dari brand memang belum menurun.
Kontradiktif dengan algoritma
Para selebgram juga mengkritik fitur ini tidak sesuai dengan keputusan Instagram yang mengubah algoritma linimasa.
Seperti diketahui, sejak tahun 2016 Instagram merombak algoritma linimasa dari kronologis menjadi dipersonalisasi.
Artinya, postingan yang muncul paling atas ketika pengguna membuka Instagram, berasal dari akun yang dekat dengan mereka, bisa dari teman, keluarga maupun selebgram atau akun resmi brand yang sering disukai maupun dikomentari.
Dengan demikian, like dan komentar menjadi hal penting perubahan algoritma ini untuk membuat personalisasi.
Namun melihat salah satu keluhan selebgram yang megaku jumlah like berkurang, hal ini sedikit banyak akan berpengaruh.
"Anda tidak mendapatkan like, maka tidak akan mendapatkan reach (jangkauan postingan ke followers), dan konten Anda tidak akan menyebar jauh," ujar salah satu selebgram Kanada, Jess Grossman.
Instagram, kata Grossman, mengambil salah satu elemen penting untuk membuat engagement. "Bagaimana nanti algoritma akan bekerja?", sambungnya.
Keluhan senada juga disampaikan selebgram lain, Reza Jackson yang menyebut fitur ini bisa membahayakan bisnis marketing media sosial.
"Tujuan setiap seniman adalah menciptakan karya yang bisa dilihat orang," katanya.
Para selebgram juga mengatakan, tidak adanya jumlah like yang terpampang membuat mereka malas untuk menyukai atau berinteraksi dengan postingan pengguna lainnya.