Find Us On Social Media :

Wimala Widjaja: Industri dan Bisnis Farmasi Belum Diganggu Disrupsi

By Liana Threestayanti, Selasa, 1 Oktober 2019 | 15:00 WIB

“Herbacold ini bekerja ketika kita di awal-awal sakit flu, (kami buat) dari protein fraction buah Mahkota Dewa yang memang bekerja untuk indikasi flu. Kami juga mempunyai produk Stimuno yang termasuk kategori Fitofarmaka, ini sudah setara dengan obat,” jelas Chief Information Officer, Dexa Medica, Wimala Widjaja dengan fasihnya.

Saking kental darah keteknikannya, Wimala awalnya mengaku enggan menjadi bagian dari struktur manajemen perusahaan. “Di IBM itu saya sangat bangga sebagai Insinyur Elektro. Kalau dibelek di sini nih, darahnya darah engineer,” cerita Wimala seraya tertawa kecil dan menunjuk ke pergelangan tangannya.

Enam tahun kemudian, barulah ia mau menerima tawaran menjadi Training Manager karena  menurutnya tugas itu tidak akan jauh- jauh dari bidang teknik yang disukainya. “Dari Training Manager terus bablas ke bagian-bagian lain sampai akhirnya saya jadi Operations Director IBM Indonesia,” ujarnya. Tour of duty ini kemudian mengasah kemampuan Wimala Widjaja sebagai seorang business leader.

Awal kariernya di Dexa Medica, pria kelahiran Jakarta ini kembali dipercaya memimpin divisi TI, tentunya dengan misi yang berbeda. “Di posisi user (teknologi), tanggung jawab saya adalah memastikan sesuatu yang dibeli itu jalan, bisa diimplementasikan, dan memberi manfaat bagi perusahaan. Itu tanggung jawab besar,” ujarnya.

Di dalam proses menjalankan tanggung jawabnya, Wimala mengaku belajar banyak hal. Jadi, tak heran jika ia sangat fasih memaparkan tentang produk, proses, bahkan industri farmasi secara keseluruhan. Termasuk bagaimana teknologi informasi dipetakan di sepanjang value chain bisnis farmasi sehingga perusahaan dapat berjalan lebih efisien, efektif, dan produktif.

Belum Diganggu Disrupsi

Berbicara tentang disrupsi teknologi yang akhir-akhir ini membuat banyak sektor industri gelisah terkena dampaknya, Wimala Widjaja memandang industri dan bisnis farmasi masih “terlindungi” oleh regulasi.

“Industri farmasi masih sarat dengan regulasi, karena menyangkut tiga aspek yaitu safety, efficacy, dan quality, untuk perlindungan konsumen atau pasien. Ini benar-benar diawasi secara ketat oleh regulator, tentunya dalam hal ini adalah BPOM,” jelas Wimala.

Perlindungan terhadap konsumen diberikan mulai dari pendirian pabrik, registrasi obat, distribusi, sampai dengan ketika obat masuk ke apotek.

Dengan seluruh mata rantai yang sarat terproteksi regulasi, menurut Wimala, cukup sulit bagi pendatang baru untuk memasuki dan mengubah tatanan di industri farmasi. Disrupsi seperti yang terjadi di bisnis transportasi saat ini belum akan menghampiri bisnis inti industri farmasi.

Bisnis intinya masih jauh dari disrupsi, tetapi ada titik-titik di mana digitalisasi mulai memberi pengaruh dalam bisnis farmasi. “Sekarang kita lihat banyak startup digital yang mendekat ke konsumen ataupasien. Itu yang harus kami cermati,” ujar Wimala. Fenomena digital saat ini memungkinkan konsumen memperoleh informasi secara lebih mudah dan luas. Konsumen tidak lagi bergantung pada dokter atau kanal-kanal tradisional dalam mencari informasi tentang penyakit dan obat-obatan.

Digitalisasi dan penggunaan perangkat seluler adalah satu keniscayaan yang tak dapat disangkal. Oleh karena itu, menurut Wimala, Dexa Medica juga menggelar berbagai inisiatif digital untuk menjangkau konsumen. “Terutama agar mereka dapat memperoleh informasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan,” jelasnya.

Menuju Industry 4.0

Meski bisnis intinya belum diganggu disrupsi teknologi, tetapi perusahaan tentu tak ingin ketinggalan dalam pemanfaatan teknologi digital.

Interaksi dengan pelanggan menjadi satu titik di mana Dexa Medica menerapkan digitalisasi melalui pengembangan aplikasi untuk berbagai segmen konsumen, yaitu aplikasi GueSehat, Teman Bumil, dan Teman Diabetes. Bahkan, aplikasi Teman Diabetes sudah dilengkapi dengan Dnurse, sebuah alat khusus untuk mengukur kadar gula darah yang tinggal dicolokkan saja ke ponsel pintar.

Wimala juga menyebut GoApotik sebagai aplikasi untuk mengakses Marketplace yang menyediakan jasa pencarian, pembelian, bahkan pengantaran obat, alat kesehatan, herbal, dan lain-lain. Berbedadengan Marketplace umum, GoApotik menyediakan produk kesehatan dari apotek-apotek resmi sehingga konsumen dapat memperoleh produk dan layanan yang berkualitas.

Pemanfaatan data juga menjadi perhatian Wimala Widjaja. “Ada area-area di mana kami sudah memiliki banyak data, misalnya di area distribusi,” ujarnya. Hasil analisis data dari proses distribusi dan teknologi machine learning memungkinkan Dexa Medica melakukan ramalan maupun rencana produksi. “Itu hanya salah satu contoh saja, karena kami akan pikirkan lagi model-model lain yang bisa kami buat untuk membantu bisnis lebih efisien, efektif, dan lebih produktif,” tandasnya.

Di sisi lain, Wimala melihat masih ada kekurangan data (digital) di lini produksi. Untuk itu, berbagai inisiatif pun diagendakan, misalnya Internet of Things (IoT) dan Electronic Batch Records (EBR). Data-data dari mesin produksi yang ditangkap oleh sensor IoT dapat memberi banyak manfaat, misalnya memungkinkan predictive maintenance pada mesin dan meningkatkan nilai Overall Equipment Effectiveness (OEE). Sementara, data-data digital dari EBR memungkinkan perusahaan, misalnya mengurangi eror, meringkas proses, meningkatkan efisiensi operasi, dan mendokumentasikan proses produksi secara digital.

Ketersediaan data-data digital, terutama di ruang produksi dan cara-cara digital dalam bisnis diharapkan Wimala Widjaja akan membawa Dexa Medica sampai pada Industry 4.0.