Memiliki julukan negeri bahari, wajar jika indonesia berhasrat menjadi salah satu operator pelabuhan berkelas dunia. PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC bertugas mewujudkannya.
Jika Anda kerap mengunjungi pelabuhan Tanjung Priok, mungkin sekarang Anda merasakan perbedaan suasana di kawasan ini. Kesemrawutan truk dan orang lalu lalang sudah jauh berkurang, digantikan oleh keteraturan. Namun itu sekadar pemandangan yang tertangkap oleh mata. Di sisi sistem dan proses bisnis pun, sejak tiga tahun terakhir, pelabuhan Tanjung Priok telah mengalami banyak perubahan.
Sejalan dengan tren masa kini, pelabuhan ke-22 tersibuk di dunia versi Llyod’s One Hundred Ports 2019 ini membenahi diri lewat digitalisasi untuk menjadi pelabuhan cerdas atau smart port. Salah satu tujuannya adalah meraih posisi “The World-Class Operator” pada tahun 2020, sejajar dengan para operator pelabuhan di kota-kota besar dunia, seperti Singapura, Rotterdam, dan Hamburg. Sebagai operator berkelas dunia, IPC ingin memberikan pelayanan yang lebih cepat dan transparan serta biaya yang lebih murah kepada para stakeholder-nya.
Selain itu, IPC juga berharap ada lonjakan pertumbuhan yang tinggi di balik semua upaya digitalisasi itu. “Kami membutuhkan lonjakan growth yang cukup tinggi. Kalau kami lakukan seperti apa adanya, mungkin growth-nya tidak akan setinggi yang diharapkan,” tutur Direktur Operasional & Sistem Informasi IPC, Prasetyadi. Menurut Prasetyadi, sejak tahun 2015 sampai sekarang, pertumbuhan laba perusahaan hampir mencapai 40 persen.
Strategi Standardisasi
“Pelabuhan ini (jenis) stakeholder-nya banyak. Misalnya, ada perusahaan shipping, yang akan sangat berbeda dengan trucking, berbeda dengan forwarding,” Prasetyadi mengungkapkan tantangan perdana yang ia hadapi. Perbedaan tersebut berujung pada proses bisnis yang berbeda-beda pula.
Menurut profesional meraih iCIO Award 2019 sebagai The Most Influential CIO ini, tiada jalan selain menyiapkan satu fondasi yang menyeluruh, dengan menstandardisasi proses bisnis yang ada. “Baru setelah itu kami lakukan integrasi sehingga pertukaran data dalam proses pelayanan tidak perlu dilakukan secara manual lagi,” jelas Prasetyadi.
Di sisi nonteknis, keberadaan aneka stakeholder dengan kepentingan masing-masing tentunya juga menjadi tantangan, terutama dalam hal mengubah kultur. “Misalnya urusan gate (gerbang masuk pelabuhan). Ini kelihatannya sederhana, tapi kami membutuhkan waktu hampir satu tahun untuk melakukan sosialisasi,” Prasetyadi bercerita tentang penerapan sistem gerbang otomatis sejak awal tahun ini. Meski memakan waktu yang cukup lama, sosialisasi dan komunikasi yang intens dengan para stakeholder adalah kunci keberhasilannya.
Hasilkan Kecepatan dan Transparansi
Terintegrasinya sistem untuk pelayanan di sisi laut, terminal dan supporting pada akhirnya akan memungkinkan IPC memantau seluruh proses kegiatan di kawasan pelabuhan Tanjung Priok di atas satu platform.
“Kita dulu sering dengar dwelling time sampai 6-7 hari. Setelah digitalisasi, mulai tahun 2017, (dwelling time) sudah di bawah tiga hari, bergerak antara 2,5 sampai 3 hari,” jelas Prasetyadi tentang pencapaian di sisi terminal. Pelayanan di sisi terminal ini menjadi target pembenahan pertama karena hampir 60 persen dari pendapatan perusahaan datang dari sana.
Di sisi pelayanan laut, digitalisasi juga berhasil memangkas waktu pelayanan. Bapak dari dua anak itu mencontohkan pengurusan jasa pandu masuk kapal yang dulu membutuhkan waktu 2-3 hari, kini bisa diselesaikan dalam hitungan menit saja. “Proses menjadi lebih cepat, dan tidak ada delay,” tandasnya.