Find Us On Social Media :

Prasetyadi: Mengawal Cita-Cita IPC Jadi Port Operator Kelas Dunia

By Liana Threestayanti, Rabu, 20 November 2019 | 16:35 WIB

Prasetyadi, Direktur Operasional & Sistem Informasi, IPC.

Memiliki julukan negeri bahari, wajar jika indonesia berhasrat menjadi salah satu operator pelabuhan  berkelas dunia. PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC bertugas mewujudkannya.

Jika Anda kerap mengunjungi pelabuhan Tanjung Priok, mungkin sekarang Anda merasakan perbedaan suasana di kawasan ini. Kesemrawutan truk dan orang lalu lalang sudah jauh berkurang, digantikan oleh keteraturan. Namun itu sekadar pemandangan yang tertangkap oleh mata. Di sisi sistem dan proses bisnis pun, sejak tiga tahun terakhir, pelabuhan Tanjung Priok telah mengalami banyak perubahan.

Sejalan dengan tren masa kini, pelabuhan ke-22 tersibuk di dunia versi Llyod’s One Hundred Ports 2019 ini membenahi diri lewat digitalisasi untuk menjadi pelabuhan cerdas atau smart port. Salah satu tujuannya adalah meraih posisi “The World-Class Operator” pada tahun 2020, sejajar dengan para operator pelabuhan di kota-kota besar dunia, seperti Singapura, Rotterdam, dan Hamburg. Sebagai operator berkelas dunia, IPC ingin memberikan pelayanan yang lebih cepat dan transparan serta biaya yang lebih murah kepada para stakeholder-nya.

Selain itu, IPC juga berharap ada lonjakan pertumbuhan yang tinggi di balik semua upaya digitalisasi itu. “Kami membutuhkan lonjakan growth yang cukup tinggi. Kalau kami lakukan seperti apa adanya, mungkin growth-nya tidak akan setinggi yang diharapkan,” tutur Direktur Operasional & Sistem Informasi IPC, Prasetyadi. Menurut Prasetyadi, sejak tahun 2015 sampai sekarang, pertumbuhan laba perusahaan hampir mencapai 40 persen.

Strategi Standardisasi

“Pelabuhan ini (jenis) stakeholder-nya banyak. Misalnya, ada perusahaan shipping, yang akan sangat berbeda dengan trucking, berbeda dengan forwarding,” Prasetyadi mengungkapkan tantangan perdana yang ia hadapi. Perbedaan tersebut berujung pada proses bisnis yang berbeda-beda pula.

Menurut profesional meraih iCIO Award 2019 sebagai The Most Influential CIO ini, tiada jalan selain menyiapkan satu fondasi yang menyeluruh, dengan menstandardisasi proses bisnis yang ada. “Baru setelah itu kami lakukan integrasi sehingga pertukaran data dalam proses pelayanan tidak perlu dilakukan secara manual lagi,” jelas Prasetyadi.

Di sisi nonteknis, keberadaan aneka stakeholder dengan kepentingan masing-masing tentunya juga menjadi tantangan, terutama dalam hal mengubah kultur. “Misalnya urusan gate (gerbang masuk pelabuhan). Ini kelihatannya sederhana, tapi kami membutuhkan waktu hampir satu tahun untuk melakukan sosialisasi,” Prasetyadi bercerita tentang penerapan sistem gerbang otomatis sejak awal tahun ini. Meski memakan waktu yang cukup lama, sosialisasi dan komunikasi yang intens dengan para stakeholder adalah kunci keberhasilannya.

Hasilkan Kecepatan dan Transparansi

Terintegrasinya sistem untuk pelayanan di sisi laut, terminal dan supporting pada akhirnya akan memungkinkan IPC memantau seluruh proses kegiatan di kawasan pelabuhan Tanjung Priok di atas satu platform.

“Kita dulu sering dengar dwelling time sampai 6-7 hari. Setelah digitalisasi, mulai tahun 2017, (dwelling time) sudah di bawah tiga hari, bergerak antara 2,5 sampai 3 hari,” jelas Prasetyadi tentang pencapaian di sisi terminal. Pelayanan di sisi terminal ini menjadi target pembenahan pertama karena hampir 60 persen dari pendapatan perusahaan datang dari sana.

Di sisi pelayanan laut, digitalisasi juga berhasil memangkas waktu pelayanan. Bapak dari dua anak itu mencontohkan pengurusan jasa pandu masuk kapal yang dulu membutuhkan waktu 2-3 hari, kini bisa diselesaikan dalam hitungan menit saja. “Proses menjadi lebih cepat, dan tidak ada delay,” tandasnya.

Pengguna jasa pelabuhan pun dapat menikmati transparansi proses bisnis, termasuk transparansi biaya. “Pengguna nanti bisa cek berapa biaya gudang, biaya kapal, truk dan sebagainya sehingga mereka dengan mudah mengetahui berapa biaya yang timbul dalam satu proses bisnis,” imbuh Prasetyadi.

 Terobosan Disruptif

Terobosan lain yang akan segera dinikmati para pengguna layanan pelabuhan Tanjung Priok adalah terminal petikemas yang terotomatisasi penuh. Teknologi Artificial Intelligence, robotika, dan Internet of Things (IoT) dipastikan oleh Prasetyadi akan hadir di terminal New Priok Container Terminal One / NPCT1 yang direncanakan siap beroperasi pada tahun 2020 atau 2021.

Terminal berkapasitas sekitar 1,5 juta TEUs (Twenty-foot Equivalent Units) ini diperkirakan akan mendisrupsi kegiatan pelayanan di pelabuhan. Untuk terminal dengan kapasitas sebesar itu, umumnya dibutuhkan sekitar seribu sampai tiga ribu orang untuk mengoperasikannya. “Nanti itu mungkin butuh separuh saja. Di lapangan sudah tidak banyak orang,” tutur Prasetyadi.

Berkat sistem internal yang sudah terintegrasi dan tertata dengan baik, IPC juga akan meluncurkan platform marketplace khusus pelayanan pelabuhan. “Kami akan menyediakan semacam product marketplace. Di tahap awal ini, untuk truck booking system. Pelayanan marketplace itu nantinya akan mendisrupsi business process yang ada di logistik,” jelas Prasetyadi.

Marketplace ini hadir berupa aplikasi mobile, di mana pengguna bisa langsung memilih dan memesan jasa/layanan, misalnya trucking. Dulu, untuk memesan truk, orang harus menelpon perusahaan trucking. Ke depannya, pemesanan bisa dilakukan langsung di aplikasi yang mencantumkan perusahaan trucking berikut tawaran harganya.

Pengalaman Panjang di Pelabuhan

Tak salah jika tugas mengawal disrupsi demi disrupsi berbasis teknologi di IPC diberikan kepada pria kelahiran Surabaya ini. Terutama mengingat tour of duty maupun tour of area di sektor pelabuhan telah ia jalani selama hampir 20 tahun, mulai dari PT Pelindo IV di Makassar, PT Pelindo III di Surabaya, sebelum akhirnya “berlabuh” di IPC Jakarta.

Di Pelindo III, Prasetyadi diminta membangun sebuah pelabuhan baru yang ramah lingkungan dan modern. Pelabuhan berteknologi semi otomatis dan dinamai Terminal Teluk Lamong itu dituntaskan pembangunannya dalam waktu dua tahun.

Di IPC, pemegang gelar Sarjana Teknik Konstruksi dari ITS, Surabaya, dan Master di bidang Port Engineering dari University of Le Havre, Perancis merasakan tantangannya lebih besar lagi. “Tujuh puluh persen dari seluruh (muatan) kargo di Indonesia kumpulnya di Tanjung Priok. Di Surabaya hanya 15 persen, sisanya dibagi ke (pelabuhan) seluruh Indonesia,” ujarnya.

Setidaknya sampai tahun 2020, masih akan ada tantangan-tantangan baru harus dihadapi penggemar makanan khas Indonesia ini dalam mewujudkan impian Indonesia untuk menjadi port operator kelas dunia.