Find Us On Social Media :

Ovo Nilai Strategi "Bakar Uang" Adalah Wajar di Industri Fintech

By Adam Rizal, Senin, 2 Desember 2019 | 16:00 WIB

Ovo

Presiden Direktur Ovo Karaniya Dharmasaputra yakin masalah inklusi keuangan di Indonesia, bisa diatasi dengan menumbuhkan industri fintech (financial technology/ teknologi finansial). Cara itu pun sudah sukses dilakukan di China.

Inklusi keuangan adalah sebuah kondisi dimana setiap anggota masyarakat memiliki akses pada layanan keuangan formal.

Layanan keuangan formal ini pun mesti berkualitas. Berkualitas ini berarti tepat waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau.

"Kita sepakat bahwa kita bisa replikasi kisah sukses di China. Bagaimana masalah inklusi keuangan bisa diatasi oleh fintech," kata Karaniya pada acara Indonesia Digital Conference 2019 di Jakarta.

Apalagi menurut Presiden Direktur Ovo Karaniya Dharmasaputra, pasar layanan teknologi finansial (fintech) di Indonesia masih luas. Hal ini ia ungkapkan setelah ia ditanya soal konsolidasi antar perusahaan fintech.

Saat ini penetrasi pembayaran digital di Indonesia masih berada di kisaran empat sampai lima persen. Sehingga, perusahaan fintech pun masih perlu banyak membakar kapital untuk mengembangkan potensi pasar ini.

"Market kita masih terlalu luas. Masih butuhkan banyak usaha, banyak kapital. Karena kita pembayaran digital baru tiga persen," tuturnya.

Baca Juga: Ovo Akui Terlalu Jor-Joran Berikan Diskon dan Cashback ke Pengguna

Bakar Uang

Karena itu, menurut Karaniya, wajar apabila perusahaan layanan finansial teknologi (fintech) masih kerap bakar uang demi meraup pasar.

Bakar uang ini merupakan istilah atas aksi startup yang belum mendapat untung, tapi rajin memberikan promo berbentuk diskon hingga cash back untuk menambah pengguna.

"Dibutuhkan upaya kampanye besar-besaran untuk mengedukasi masyarakat supaya mulai masuk ke dunia layanan teknologi. Sama dengan ride hailing dan e-commerce juga begitu. Tak hanya Ovo," katanya.

Sebelumnya, Pendiri Lippo Group, Mochtar Riady mengaku kepemilikan saham miliknya di Ovo saat ini hanya sekitar 30 persen saja.

Pengurangan persentase saham ini terjadi lantaran makin banyak investor yang menyetorkan kapital mereka ke Ovo.

Sehingga, persentase kepemilikan sahamnya menyusut. Alasannya Ovo butuh pasokan dana terus-menerus untuk menyokong promo diskon dan cash back.

Karaniya juga mengungkap fakta menarik lain. Menurutnya, berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), saat ini persentase inklusi keuangan Indonesia telah mencapai 78 persen. Padahal OJK telah sejak lama menargetkan inklusi keuangan 70 persen.

Angka ini berhasil diraih karena keberadaan fintech. Bahkan tingkat inklusi keuangan di Indonesia lebih tinggi dari literasi keuangan. Literasi keuangan adalah kepandaian pengguna soal konsep dan risiko berbagai layanan finansial.

Sebelum keberadaan fintech, layanan perbankan hanya mengandalkan distribusi konvensional. Distribusi ini hanya melayani mereka yang kaya. Karaniya mengungkapkan 27 persen pengguna Ovo merupakan orang yang belum pernah tersentuh layanan perbankan sebelumnya.

Baca Juga: Jual Saham Ovo, Bos Lippo: Terus Bakar Uang, Bagaimana Kami Kuat