Badan Regulasi dan Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengatakan akan menerapkan konsep pemindaian wajah sebagai syarat aktivasi nomor seluler. Konsep ini telah diterapkan terlebih dahulu di China.
Komisioner BRTI Agung Harsoyo mengatakan pemindaian atau sensor wajah tersebut akan membuat sistem Know Your Customer (KYC) masyarakat Indonesia lebih baik.
"Apapun yang KYC membuat lebih bagus akan terapkan. KYC itu intinya kita mencari sesuatu yang mencirikan bahwa orang itu adalah itu, bukan orang lain atau robot. KYC bisa melalui teks based atau biometrik dengan wajah, sidik jari, dan iris mata," kata Agung.
Pada prinsipnya, Agung mengatakan sesungguhnya Indonesia juga bisa menerapkan konsep pemindaian wajah sebagai syarat aktivasi nomor seluler.
Dalam penerapannya, Agung mengatakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akan berkoordinasi dengan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri dan operator seluler.
Agung mengatakan Dukcapil adalah lembaga yang memiliki otoritas perihal data kependudukan seluruh masyarakat Indonesia. Ia menjelaskan Duckapil memiliki data lengkap seperti nama, alamat, tanggal lahir, foto, 10 sidik jari, dan iris mata.
Di sisi lain, Kemenkominfo juga akan berkoordinasi dengan operator seluler untuk menyiapkan sistem verifikasi data pengguna. Di China, pemerintah meminta operator untuk menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk melakukan verifikasi identitas pengguna saat mereka menggunakan nomor telepon baru.
"Kalau ini diterapkan, koordinasi bukan hanya operator tapi juga Dukcapil. Koordinasi dengan Dukcapil sebagai pihak yang verifikasi kebenaran data," ujarnya.
Agung mengakui proses verifikasi identitas pengguna dengan pemindaian wajah meningkatkan risiko kebocoran data pengguna.
Di satu sisi, Indonesia belum memiliki aturan Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang ketat. Rancangan UU PDP telah diputuskan masuk ke prioritas prolegnas 2020 oleh Komisi I DPR RI.
Karena itu, Agung mengatakan pemerintah terlebih dahulu harus siap dari sisi aturan PDP untuk mengantisipasi risiko privasi data pengguna.
"Jadi kasihan juga sistem industri kita ini. kalau kita tidak siap antisipasi risiko yang mungkin ditimbulkan dari apa yang kita buat sebagai regulasi," ujar Agung.