Find Us On Social Media :

Ini Prediksi Palo Alto Networks untuk 2020, Dari 5G Sampai IoT

By Liana Threestayanti, Kamis, 5 Desember 2019 | 15:15 WIB

Kevin o’Leary, Field Chief Security Officer Asia Pasifik, Palo Alto Networks, dan Yudi Arijanto, Director of Systems Engineering Indonesia, Palo Alto Networks memaparkan beberapa prediksi untuuk 2020.

Menjelang akhir tahun, Palo Alto Networks memaparkan beberapa prediksi terkait tren teknologi dan keamanan jaringan.

Pemaparan disampaikan oleh Kevin o’Leary, Field Chief Security Officer Asia Pasifik, Palo Alto Networks; dan Yudi Arijanto, Director of Systems Engineering Indonesia, Palo Alto Networks

Infrastruktur dan layanan 5G belum akan hadir secara massal dalam waktu dekat ini di kawasan Asia Pasifik. Sejumlah negara di kawasan ini bahkan baru saja mencicipi teknologi 4G. Melihat minimnya uji coba penggelaran 5G yang sukses saat ini, pembangunan infrastruktur 5G diprediksikan baru akan terjadi secara besar-besaran dalam kurun waktu 10 tahun ini.

GSMA memprediksikan bahwa 4G masih akan menjangkau 68% pengguna perangkat bergerak global di tahun 2025 di kawasan ini.  Adopsi model LTE masih relatif tinggi di area-area perdesaan karena panjang gelombang yang dipancarkan oleh jaringan 4G lebih panjang dibandingkan mmWave 5G.

Palo Alto Networks melihat 4G akan terus dibidik oleh peretas di tahun 2020 sebagai gerbang masuknya serangan ke jaringan 5G di masa-masa yang akan datang.

Mobile ISP diperkirakan akan menjadi titik sasaran dalam insiden serangan siber di kemudian hari. Mereka juga berpotensi menjadi tempat terbukanya celah vulnerability, misalnya pada sistem IoT yang tak aman.

Oleh karenanya, pendekatan keamanan perlu diterapkan sejak dini, melalui tindakan pencegahan, memperkokoh lapis keamanan melalui penerapan otomatisasi, membangun sistem keamanan yang kontekstual, serta mengintegrasikan fungsi-fungsi keamanan melalui API.

Kesenjangan SDM Keamanan Siber.

Tanpa adanya perubahan pola pikir secara fundamental, kebutuhan keamanan siber selalu tak akan pernah dapat terpenuhi. Dibutuhkan pendekatan menyeluruh untuk mengatasi persoalan ini: pengadopsian strategi otomatisasi dan mengeksplorasi seluruh alternatif yang ada untuk mendapatkan ceruk-ceruk sumber daya baru bagi keamanan.

Otomatisasi menjadi elemen kunci dalam penerapan strategi keamanan siber di masa depan. Seluruhnya dilakukan secara otomatis, tanpa campur tangan manusia. Oleh karena itu, SDM dituntut untuk lebih fokus mengasah kapasitas mereka pada tugas-tugas tingkat tinggi yang tidak mungkin diotomatisasikan, seperti pemecahan masalah, komunikasi, dan kolaborasi.

Hal tersebut tentu akan memicu perombakan pada struktur Security Operating Center (SOC) dan pergeseran kebutuhan SDM di bidang-bidang baru tersebut, sehingga kesenjangan SDM dapat segera teridentifikasi dan teratasi.

Di tahun 2020, EQ dan IQ akan menjadi tolok ukur baru dalam proses pencarian SDM yang memiliki kapasitas dalam memecahkan permasalahan, baik itu engineer, analis, maupun di bidang komunikasi. Perusahaan perlu menggelontorkan investasi untuk peningkatan kecakapan SDM untuk lintas bidang, sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan perusahaan. Klasifikasi angkatan kerja yang disampaikan oleh NICE Framework  bisa dijadikan sebagai langkah awal untuk mulai mengidentifikasikan kebutuhan tingkat kecakapan SDM terkait strategi keamanan siber yang relevan bagi perusahaan.