Craige Sloots, Director Sales Southern Cross Cable Network, perusahaan independen yang telah mengoperasikan kabel bawah laut terbesar di trans-pasifik, mengatakan regulator AS memang lebih ketat soal siapa saja yang terlibat dalam projek infrastruktur bawah laut, terutama yang akan terhubung ke AS.
Salah satu pengamat di Hong Kong mengatakan, Hong Kong sebelumya dianggap sebagai titik pendaratan kabel laut yang aman ketimbang China. Tapi melihat kerusuhan yang belakangan terjadi Hong Kong, penilaian itu mulai diragukan.
Sekutu AS ikut Menghambat Seperti AS, sekutunya juga melakukan hal yang sama. Australia misalnya, buru-buru mencegah proyek kerja sama Solomon Islands Submarine Cable Company dengan Huawei, yang menghubungkan kabel bawah laut antara Sydney, Kepulauan Solomon, dan Papua Nugini. Kabel itu akan ditanamkan di awah Laut Koral.
Pada awalnya, Solomon Islands Submarine Cable Company sepakat bekerja sama dengan Huawei pada tahun 2017. Namun, pemerintah Australia, segera menyumbang 67 juta dollar AS untuk proyek tersebut dan mengalihkannya ke Alcatel yang diakuisisi Nokia 2016 lalu, sebagai vendor baru proyek ini.
Selain Huawei, perusahaan telekomunikasi, China Unicom juga disebut memiliki akses ke banyak kabel trans-pasifik yang tersedia saat ini, dirangkum KompasTekno dari South China Morning Post.
Perang bawah laut ini belum setegang perang dagang di permukaan. Tapi dampaknya bisa memperlama resolusi konflik kedua negara, dan tentu saja memengaruhi kestabilan ekonomi secara global.