Perang dagang Amerika Vs China belum juga surut. Industri telekomunikasi kedua negara jadi korban perang ini.
Huawei misalnya, menjadi salah satu sasaran pemblokiran pemerintah AS, dan melarang mereka berbisnis dengan perusahaan AS.
Dalihnya, AS curiga Huawei akan mengancam keamanan nasional melalui perangkat yang mereka bangun dan digunakan perusahaan-perusahaan besar di Amerika. Kini, perang tersebut disinyalir akan bergeser ke area bawah laut.
Proyek penanaman kabel serat optik di Kepulauan Pasifik bisa jadi "medan perang" baru AS-China. Betapa tidak, AS dan sekutunya menghambat beberapa proyek penanaman kabel serat optik yang didukung investor China.
Sebagai informasi, kabel serat optik merupakan salah satu infrastrukur tulang punggung (backbone) jaringan internet di seluruh dunia. Hampir semua data komunikasi dari seluruh dunia mengalir melalui kabel ini.
Hanya satu persen saja data komunikasi yang dialirkan melalui satelit. Saat ini ada 378 kabel optik yang beroperasi di seluruh dunia, dan 23 di antaranya melintasi Kepulauan Pasifik.
Beberapa kabel yang melintasi kepulauan tersebut menghubungkan hub di Los Angeles, Tokyo, dan Singapura. Menurut data dari United Nations Economic and Social Commission for the Asia Pacific (UNESCAP), hanya kurang dari 5 persen dari total 11 juta penduduk di Kepualuan Pasifik dan Papua Nugini yang bisa terhubung dengan internet. Konektivitas mobile juga baru tercatat 1,5 juta saja.
Itulah sebabnya, Tiziana Bonapace, Director of UNESCAP, mengatakan bahwa Kepulauan Pasifik adalah area paling belum terjamah internet di seluruh dunia. Keterlibatan China di proyek bawah laut Kekosongan ini menarik perusahaan telekomunikasi dunia untuk membuat proyek kabel bawah laut di Samudera Pasifik, termasuk perusahaan telekomunikasi China.
Pasar kabel serat optik saat ini didominasi perusahaan AS, Eropa, dan Jepang. Namun China perlahan-lahan mulai merangsek dengan menginvestasi beberapa proyek kabel bawah laut.
China pernah terlibat dalam proyek Pacific Light Cable Network (PLCN). Sekilas informasi, PLCN merupakan kabel bawah laut pertama yang menghubungkan Los Angeles dan Hong Kong dengan bentang kabel 12.800 km.
Projek ini merupakan kolaborasi antara Google, Facebook, dan Pacific Light Data Communication Co. Ltd yg berbasis di Hong Kong. Salah satu investor China, yakni Dr. Peng Telecom & Media Group Co diketahui ikut menyokong proyek ini. Sayangnya, proyek ini harus dihalangi oleh pemerintah AS pertengahan tahun lalu.
"Pengadilan AS tidak mengomentari penilaian pengajuan yang sedang berlangsung, yang telah dirujuk ke FCC perihal masalah keamanan dan penegakan hukum nasional yang didanai atau dikontrol asing," kata Marc Raimondi, juru bicara kemanan nasional dari Kementerian Kehakiman AS, dikutip dari Reuters.
Craige Sloots, Director Sales Southern Cross Cable Network, perusahaan independen yang telah mengoperasikan kabel bawah laut terbesar di trans-pasifik, mengatakan regulator AS memang lebih ketat soal siapa saja yang terlibat dalam projek infrastruktur bawah laut, terutama yang akan terhubung ke AS.
Salah satu pengamat di Hong Kong mengatakan, Hong Kong sebelumya dianggap sebagai titik pendaratan kabel laut yang aman ketimbang China. Tapi melihat kerusuhan yang belakangan terjadi Hong Kong, penilaian itu mulai diragukan.
Sekutu AS ikut Menghambat Seperti AS, sekutunya juga melakukan hal yang sama. Australia misalnya, buru-buru mencegah proyek kerja sama Solomon Islands Submarine Cable Company dengan Huawei, yang menghubungkan kabel bawah laut antara Sydney, Kepulauan Solomon, dan Papua Nugini. Kabel itu akan ditanamkan di awah Laut Koral.
Pada awalnya, Solomon Islands Submarine Cable Company sepakat bekerja sama dengan Huawei pada tahun 2017. Namun, pemerintah Australia, segera menyumbang 67 juta dollar AS untuk proyek tersebut dan mengalihkannya ke Alcatel yang diakuisisi Nokia 2016 lalu, sebagai vendor baru proyek ini.
Selain Huawei, perusahaan telekomunikasi, China Unicom juga disebut memiliki akses ke banyak kabel trans-pasifik yang tersedia saat ini, dirangkum KompasTekno dari South China Morning Post.
Perang bawah laut ini belum setegang perang dagang di permukaan. Tapi dampaknya bisa memperlama resolusi konflik kedua negara, dan tentu saja memengaruhi kestabilan ekonomi secara global.