Saat ini perusahaan kredit mikro seperti koperasi dan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) harus menjalani masa sulit. Di satu sisi, bank umum semakin agresif menyasar calon nasabah, termasuk menggunakan agen Laku Pandai. Sementara di sisi lain, perusahaan financial technology (fintech) juga kian aktif menyasar pengusaha mikro dan UMKM yang menjadi nasabah tradisional BPR. Belum lagi adanya aturan terkait penambahan modal untuk BPR.
Tak heran jika jumlah BPR terus menurun. Berdasarkan data OJK, jumlah BPR per Januari 2019 adalah 1593 bank, turun dari 1669 bank di tahun 2011.
Salah satu penyebab BPR saat ini kalah bersaing adalah di sisi teknologi. “Banyak BPR yang melihat fungsi teknologi lebih sebagai fungsi akuntansi atau membuat laporan,” ungkap Irianto Kusumadjaja. Apalagi, investasi di sisi teknologi masih terasa sebagai barang mewah yang tidak dapat dijangkau oleh sebagian BPR.
Hal itulah yang mendorong Irianto membuat Kreditek Financial Access, platform yang bertujuan membantu BPR. “Saya ingin mengembalikan jiwa dan roh BPR ke asalnya dengan dukungan teknologi,” ungkap Irianto.
Mengejar Kecepatan
Irianto memang sosok yang tepat untuk memotret lika-liku industri kredit mikro. Sebelum mendirikan Exlayer Technology Indonesia (induk perusahaan Kreditek), Irianto adalah COO sekaligus CIO Bank Andara yang banyak terlibat dalam perkreditan untuk petani. Berbicara dengan pria ini, Anda akan memahami masalah petani kelapa sawit di Sintang (Kalimantan Barat) atau petani pala di Tobelo (Maluku Utara).
Masalah klasik para petani salah satunya adalah mendapatkan dana secara mudah dan cepat. Selama ini, BPR bisa menjawab kebutuhan petani tersebut; setidaknya jika dibandingkan bank umum. “Cukup satu minggu, petani bisa dapat pinjaman,” cerita Irianto. Sementara di bank umum, prosesnya bisa memakan waktu berminggu-minggu.
Namun saat ini, kecepatan tidak lagi menjadi keunggulan unik BPR. Perusahaan peer-to-peer lending kini bisa mengungguli BPR dalam hal kecepatan pencairan pinjaman, salah satunya berkat memanfaatkan teknologi. Untuk bisa menandingi perusahaan fintech ini, BPR juga harus mulai menggunakan teknologi.
Hal inilah yang coba disediakan platform Kreditek Financial Access. Pada dasarnya, platform ini melakukan digitalisasi proses bisnis di BPR, mulai dari pengajuan pinjaman, verifikasi pemohon pinjaman, credit scoring, sampai penagihan.
Prinsip kerjanya kurang lebih seperti ini. Petugas pemasaran di lapangan dibekali mobile apps Kreditek yang salah satu fiturnya adalah pengisian dokumen pemohon pinjaman. Selain untuk mengisi identitas calon peminjam, mobile apps ini juga digunakan untuk mengambil foto calon pemohon atau objek agunan (seperti sawah atau warung) atau mencatat informasi lokasinya (geo-tagging). Data itu kemudian langsung dikirim ke kantor pusat sehingga bisa langsung diproses.
Di sisi backend, platform Kreditek memiliki beragam fitur untuk mempercepat proses. Salah satunya dashboard untuk memonitor perjalanan dokumen. “Jadi bisa terekam kapan data di-upload, kapan manajer mulai mengecek dokumen tersebut, dan seterusnya,” jelas Irianto.
Fitur menarik lainnya dari Kreditek adalah adanya sistem credit scoring. Sistem ini akan menganalisa profil calon nasabah, seperti estimasi pemasukan dan biaya hidup, untuk menentukan tingkat risiko pinjaman. Fitur credit scoring ini sendiri menggunakan teknologi perusahaan Belanda, yaitu Financial Access, yang menjadi mitra bisnis Exlayer saat membangun Kreditek.
Selain memanfaatkan creding scoring internal, hasil analisis Kreditek juga bisa dipadukan dengan data SLIK dari OJK. Dengan begitu, BPR memiliki basis data yang memadai untuk menentukan pemberian pinjaman kepada pemohon.
Investasi Terjangkau
Dengan melakukan digitalisasi proses ini, BPR pun dapat lebih cepat mengucurkan pinjaman ke pemohon. Menurut perhitungan Irianto, Kreditek bisa mempersingkat proses pinjaman dari seminggu menjadi 2-3 hari. Durasi ini memang tidak secepat fintech yang bisa mengucurkan dana dalam hitungan jam, namun hal ini tidak lepas dari pendekatan prudent alias kehati-hatian yang tetap harus dilakukan BPR (seperti tetap melakukan survei ke lapangan).
Akan tetapi Irianto meyakini, BPR seharusnya tetap bisa menjadi pilihan petani dan pengusaha kecil dibanding fintech. Salah satunya karena tingkat bunga BPR yang lebih bersahabat. “Karena BPR bunganya sekitar 1,5 sampai 2% sebulan,“ ungkap Irianto, sembari membandingkan bunga fintech yang bisa mencapai 0,8% per hari. Yang tak kalah penting, BPR memiliki agen yang paham betul profil nasabah di lapangan, sehingga bisa melihat potensi dan kebutuhan nasabah secara lebih akurat.
Karena ditujukan bagi BPR yang memiliki modal terbatas, Kreditek dirancang dengan model berlangganan. Pihak BPR cukup membayar biaya langganan Rp.1,5 juta per bulan dan biaya Rp.15 ribu per pinjaman yang disetujui. Dengan model seperti itu, Irianto berharap skema ini lebih memudahkan BPR dalam mengadopsi teknologi.
Kreditek Financial Access ini baru dirilis dua bulan lalu, namun sudah ada sekitar 10 BPR yang berminat untuk mengimplementasikan solusi ini. Dengan sambutan awal yang menggembirakan ini, Irianto menargetkan tahun depan ada 100 BPR atau koperasi yang menggunakan platform Kreditek ini. “Dengan begitu, saya bisa mengembangkan platform ini,” ungkap Irianto, sambil menunjuk pemetaan petani potensial sebagai salah satu fokus utamanya.
Ada alasan tersendiri mengapa pria yang tinggal di Jakarta dan Bali ini memiliki perhatian khusus terhadap pembiayaan bagi petani dan pengusaha kecil. “Karena mereka sejatinya adalah penopang ekonomi mikro,” ungkap Irianto. “Saya ingin Kreditek ini memiliki dampak positif bagi bisnis BPR maupun petani dan pengusaha kecil,” tambah Irianto.