Find Us On Social Media :

Satya Nadella dan Keberanian Melakukan Refresh di Microsoft

By Administrator, Senin, 17 Februari 2020 | 15:35 WIB

Satya Nadella, CEO Microsoft, saat berkunjung ke Jakarta beberapa waktu lalu

Para hadirin terkesiap ketika dalam pada sebuah acara, CEO Microsoft Satya Nadella mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya. Ia mengeluarkan sebuah iPhone! Mungkin baru kali itu, seorang CEO Microsoft memamerkan produk Apple yang notabene adalah "pesaing" abadi Microsoft. 

Akan tetapi, iPhone yang dipegang Nadella memang bukan iPhone biasa. iPhone tersebut memiliki semua produk perangkat lunak dan aplikasi Microsoft di dalamnya.

Melihat sang CEO mendemokan produk Microsoft di dalam sebuah iPhone adalah sesuatu yang mengejutkan sekaligus menyegarkan. Namun kejadian itu menjadi salah satu indikasi yang ditunjukkan Microsoft, bahwa perusahaan teknologi raksasa itu telah berubah.

Microsoft bukan lagi sebuah perusahaan yang melakukan pendekatan “memaksa” pelanggan menggunakan produk-produk Microsoft. Microsoft akhirnya menyadari betapa pentingnya bekerja sama antar platform dan melakukan kemitraan secara luas. 

Hal ini telah disadari Satya Nadella sejak awal ia menjabat sebagai CEO pada tahun 2014. Setahun setelah diangkat menjadi CEO menggantikan Steve Ballmer, Nadella tampil di Dreamforce yang merupakan konferensi besar tahunan Salesforce. Kemunculan Nadella dianggap sangat simbolis mengingat kedua perusahaan pernah terlibat persengketaan hukum yang panjang selama bertahun-tahun. 

Rebut Kembali Kejayaan 

Ketika mengemban mandat sebagai CEO pada tahun 2014, Nadella tahu perusahaan raksasa dengan lebih dari 130.000 karyawan itu harus berubah. Seakan masih terbuai oleh kejayaan masa lalu, Microsoft tanpa sadar kehilangan momentum penting. Mereka kalah dalam pasar ponsel cerdas dari Apple, tertinggal di ranah cloud dari Amazon, dan terengah-engah di produk search engine dari Google. 

Ketika Nadella mengambil alih tampuk kepemimpinan dari Steve Balmer, Microsoft praktis dalam keadaan terpuruk. Walaupun masih menghasilkan pendapatan tinggi dari produk-produknya, harga saham Microsoft terus merosot karena kurangnya inovasi. Kala itu, pasar masih pesimis walaupun Microsoft telah berganti CEO. 

Lima tahun kemudian, transformasi yang dipimpin Nadella tampaknya telah memperlihatkan hasil, bahkan terbilang sangat sukses. Harga saham terus merangkak naik mulai dari tahun 2015 hingga 2019. Pada akhir 2019, Microsoft kembali duduk di urutan ketiga perusahaan teknologi dengan kapitalisasi pasar terbesar, setelah Apple dan Samsung. 

Microsoft mampu merebut kembali kejayaannya dengan meraih kapitalisasi pasar di atas US$1 triliun, melebihi Alphabet (Google) yang meraih kapitalisasi pasar US$878,48 miliar dan Facebook dengan US$552,39 miliar. Kini Microsoft kembali menjadi salah satu pemain terpenting di teknologi.

Nama Microsoft bukan lagi disebut dengan menggunakan keterangan waktu lampau, tapi produk-produk Microsoft kini kembali relevan mengikuti perkembangan saat ini. Kisah transformasi Microsoft bisa dikatakan salah satu kisah transformasi paling menarik dan bisa menjadi studi kasus bagi korporasi dalam menghadapi era disrupsi ini.

Melakukan transformasi pada perusahaan dengan skala sebesar Microsoft dengan keberadaan di berbagai belahan dunia tentu saja tidak mudah. Nadella menceritakan hal ini dalam salah satu bagian di buku yang ditulisnya berjudul “Hit Refresh: The Quest to Rediscover Microsoft's Soul and Imagine a Better Future for Everyone” (September, 2017). 

Perubahan Harus Dari Dalam

“Our industry does not respect tradition. What it respects is innovation.”

Sejak awal, Nadella menyadari transformasi akan berhasil jika berasal dari dalam. Dalam buku tersebut, Nadella menceritakan bagaimana di awal-awal kepemimpinannya ia banyak menghabiskan waktu untuk mendengar dan mendapatkan masukan. Selanjutnya, yang menjadi tantangan baginya adalah bagaimana menjadikan perubahan ini menjadi agenda setiap leader, bahkan setiap karyawan, bukan hanya “Satya things.”

Untuk melakukan perubahan di organisasi, hal pertama yang perlu diubah menurutnya adalah budaya. Ketika dinobatkan sebagai CEO pada bulan Februari 2014, Nadella mengatakan kepada seluruh karyawan Microsoft bahwa memperbarui budaya perusahaan akan menjadi prioritas utamanya. 

“Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya berkomitmen untuk tanpa ampun dalam menghilangkan halangan-halangan terhadap inovasi agar kita dapat kembali pada alasan mengapa kita dulu bergabung dengan perusahaan ini, yaitu membuat perbedaan di dunia,” tulis Satya Nadella dalam bukunya. 

Di periode awal kepemimpinannya, Nadella banyak menghabiskan waktu untuk mendengarkan. Ia mendapati sebagian besar karyawan Microsoft bergabung dengan membawa mimpi besar, tetapi kemudian kecewa karena menyadari yang sesungguhnya mereka kerjakan hanyalah menghadapi manajemen yang lebih tinggi, mengeksekusikan proses yang berat, dan cekcok dalam rapat. Yang paling menyedihkan adalah menemukan bahwa menurut banyak karyawan, Microsoft telah kehilangan jiwanya.

Temukan (Kembali) Jati Diri Perusahaan

Karena itulah dalam memperbarui budaya perusahaan, Microsoft juga perlu menemukan kembali jati dirinya. Nadella menulis bahwa Microsoft harus menemukan apa yang hanya Microsoft yang bisa kontribusikan ke dunia. Apa yang akan hilang di dunia ini bila Microsoft menghilang. Hal itu kemudian mengerucut pada Microsoft adalah perusahaan platform dan produktivitas untuk dunia mobile-first dan cloud-first

Kesadaran tentang bagaimana melakukan perubahan pada organisasi besar serta pemahaman tentang perkembangan industri saat ini sehingga tahu ke arah mana membawa perusahaan adalah dua kunci sukses dalam kisah transformasi Microsoft. 

Nadella paham tentang perubahan lanskap bisnis teknologi dengan hadirnya cloud serta consumerism IT yang menghadirkan kemampuan computing dalam saku para user awam. Namun tidak semua leader di Microsoft dapat berubah dengan serta merta. Terutama mereka yang bisa saja terancam posisi dan kekuasaannya dengan perubahan tersebut. Karena itulah penting bagi Nadella untuk membuat semua bagian di Microsoft untuk memiliki pemahaman yang sama, sehingga sama-sama mendukung dan mensukseskan transformasi tersebut. 

Seperti yang ditulis oleh Nadella, transformasi Microsoft tidak berhenti di sini, tetapi akan terus berjalan. Selain kinerja keuangan, Microsoft telah melakukan perubahan yang lebih fundamental. Seperti komentar Michael Cusumano, seorang profesor manajemen MIT, “Microsoft kembali menjadi tempat bekerja yang mengasyikkan.” Nadella telah membawa budaya dan antusiasme baru ke dalam Microsoft. 

Mengawali tahun 2020 ini, mungkin transformasi menjadi salah satu tema di korporasi Anda. Seperti halnya Microsoft, mungkin ini juga adalah saatnya Anda menekan tombol “Refresh”?

Penulis: Meisia Chandra, Head of Accounts & Consulting, Storm Benefits Indonesia.

Ingin menyumbangkan buah pikiran Anda ke InfoKomputer? Kirim artikel Anda ke redaksi@infokomputer.com.