Find Us On Social Media :

Memahami Crisis Communication, Elemen Kunci Business Continuity

By Liana Threestayanti, Selasa, 24 Maret 2020 | 19:00 WIB

Saat terjadi krisis, dibutuhkan pendekatan strategis untuk berkomunikasi dengan orang maupun organisasi atau komunikasi krisis.

Saat terjadi krisis, dibutuhkan pendekatan strategis untuk berkomunikasi dengan orang maupun organisasi atau komunikasi krisis. Cara komunikasi yang dilakukan harus proaktif, cepat, dan rinci.

Dalam situasi krisis, reputasi bisnis bisa terancam sehingga penting bagi organisasi bisnis untuk menyampaikan informasi kepada khalayak agar khalayak tidak resah dan mengantisipasi berita-berita bohong. Oleh karena itu, tiap organisasi bisnis harus memiliki rencana komunikasi darurat (emergency communication plan) yang mendokumentasikan protokol untuk mendistribusikan informasi di saat-saat gawat, sulit, atau berbahaya.

Seiring makin tingginya frekuensi krisis, seperti krisis akibat serangan siber, strategi komunikasi krisis tetap menjadi elemen kunci dalam business continuity dan disaster recovery. Para ahli menyarankan, untuk perencanaan yang lebih baik, tiap organisasi harus berasumsi mereka akan mengalami krisis.

Fase Krisis

Menurut U.S. Centers for Disease Control and Prevention, umumnya ada lima fase krisis: pra krisis (pre-crisis), awal (initial), pemeliharaan (maintenance), resolusi (resolution), dan evaluasi (evaluation). Dan di tiap fase tersebut, organisasi harus terus berkomunikasi dan cara komunikasinya juga harus berevolusi.

Di fase pra krisis, organisasi harus melakukan perencanaann dan edukasi. Aktivitas di fase ini mencakup pemantauan risiko-risiko yang sedang timbul, mengantisipasi krisis yang mungkin terjadi, mengedukasi pihak-pihak terkait dan menyarankan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dalam masa krisis. Aktivitas ini melibatkan tidak hanya pihak berwenang, tetapi juga kelompok-kelompok yang bisa diajak berkolaborasi dan membantu. Di fase ini pula, organisasi merancang pesan-pesan dan sistem komunikasi serta mengujinya. Organisasi juga membentuk tim komunikasi krisis yang nantinya akan bertugas jika terjadi krisis.

Di fase awal (initial), krisis terjadi dan organisasi mulai melakukan komunikasi. Tak jarang terjadi kebingungan dan ketegangan di fase ini. Organisasi harus memberikan arahan yang jelas dan akurat, menyediakan sumber-sumber informasi yang jelas, dan menenangkan. Di saat ini pula, mungkin tidak banyak informasi yang bisa disampaikan, tapi crisis communication tetap penting dan harus dapat meyakinkan khalayak bahwa organisasi sedang mencari solusi.

Di fase pemeliharaan (maintenance), organisasi mengkomunikasikan update dan rincian krisis yang sedang terjadi. Di masa ini pula, organisasi harus mengumpulkan feedback dari siapa pun yang terdampak oleh krisis, mengoreksi informasi yang salah, dan menilai situasi secara terus menerus.

Ketika fase resolusi, situasi krisis sudah berakhir, tetapi proses pemulihan dan komunikasi masih terus berjalan. Di fase ini, organisasi harus mengkomunikasikan bagaimana organisasi memulihkan diri dan membangun kembali. Informasi lain yang harus disampaikan adalah bagaimana krisis bisa terjadi. Fase ini adalah waktu yang tepat untuk mengingatkan khalayak bagaimana menghadapi krisis jika terjadi lagi.

Fase akhir adalah evaluasi. Di fase ini, dibutuhkan komunikasi dua arah. Organisasi mengevaluasi dan menilai respons yang sudah dilakukan dan bagaimana memperbaiknya. Organisasi juga meninjau kembali rencana komunikasi krisis yang telah diterapkan, memperbarui atau memperbaikinya sesuai kebutuhan. Harus ada laporan after-action yang mendokumentasikan krisis dan responsnya secara menyeluruh.

Apa saja yang harus dicantumkan dalam rencana crisis communication?

1.Informasi kontak audiens

Informasi yang harus mudah diakses di masa krisis ini mencakup nama, nomor telpon, alamat tempat tinggal, alamat surel. Dan informasi ini harus diperbarui secara berkala.

Audiens yang berpotensi terdampak oleh krisis menurut Ready.gov adalah pelanggan, karyawan dan keluarganya, penyintas insiden dan keluarganya, media, komunitas terdekat, manajemen perusahaan dan investor, staf pemerintahan dan institusi lainnya, dan pemasok.

2.Rancangan skrip pesan

Menurut Ready.gov, menulis pesan di saat krisis akan lebih sulit karena banyaknya tekanan. Oleh karena itu alangkah baiknya jika skrip pesan yang akan disampaikan sudah dirancang terlebih dahulu. Isi pesan mencakup apa yang terjadi, bagaimana khalayak bisa terdampak, dan apa yang harus mereka lakukan, serta upaya-upaya yang dilakukan organisasi. Pesan-pesan ini pun harus konsisten.

Rencana komunikasi krisis ini juga harus menyebutkan siapa yang akan mengkomunikasikan pesan dan kanal komunikasi yang akan digunakan. Para juru bicara juga harus siap menjawab pertanyaan dari berbagai pihak, misalnya karyawan, pelanggan, dan media. Pihak manajemen juga harus mengetahui pertanyaan-pertanyaan tersebut maupun posting-posting di media sosial terkait krisis.

Tool dan Sumber Daya

Para ahli menyarankan perusahaan memiliki tool dan sumber daya komunikasi krisis. Sumber daya yang bisa digunakan mencakup telpon, automated notification systems, sistem surel, fax, para webmaster yang bertugas meng-update situs web, akun media sosial, jaringan dan lain-lain.

Tool lain yang bisa membantu adalah software automated crisis communication, seperti AtHoc, Everbridge, One Call Now and OnSolve. Software ini secara serentak dapat menghubungi ke ponsel, telpon rumah, dan telpon kantor. Ada pula automated notification system yang dapat mengirim pesan melalui surel, SMS, dan media sosial.

Dan tool komunikasi yang bisa dengan cepat menjangkau ratusan bahkan ribuan orang adalah media sosial. Namun jangan jadikan media sosial sebagai satu-satunya cara mengkomunikasikan krisis karena tidak semua orang menggunakan media sosial.