Kementerian Keuangan RI belum mau berkomentar soal langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang berencana melakukan investigasi formal mengenai rencana penerapan pajak digital di beberapa negara, termasuk Indonesia.
"Pajak digital belum bisa rilis statementnya, mudah-mudahan segera, karena ini masalah yang cukup strategis. Nanti kami siapkan, semoga bisa kami ceritakan bagaimana statement dan penanganannya," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu dalam konferensi video.
Donald Trump sebelumnya menyatakan bakal melakukan investigasi formal terkait dengan penerapan kebijakan pajak digital tersebut.
Musababnya, pemerintah AS khawatir pemungutan pajak itu dilakukan secara tidak adil dengan hanya menargetkan perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Apple, Facebook, Amazon dan Netflix.
Seperti dikutip dari BBC.com, dalam penyelidikan tersebut, AS akan melakukan pemeriksaan atas beberapa skema penerapan pajak di 10 wilayah yurisdiksi, termasuk Indonesia. Selain Indonesia, penyelidikan dilakukan di Austria, Brazil, Republik Ceko, Uni Eropa, India, Italia, Turki, Spanyol, dan Inggris.
Penyelidikan dilakukan setelah sejumlah negara yang mulai mempertimbangkan penerapan pajak untuk layanan daring asal AS.
Sejumlah negara sepakat, para perusahaan daring tersebut mengeluarkan biaya terlalu kecil kepada tiap negara tempat beroperasinya dan dinilai harus membayar pajak sesuai dengan aturan di masing-masing yurisdiksi tempat layanan mencari pundi-pundi.
Pihak AS mengatakan perihal penerapan pajak digital tersebut seharusnya disepakati di forum multilateral melalui Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Namun, diskusi yang berlangsung di forum tersebut berjalan lambat sehingga banyak negara yang justru mengambil tindakan masing-masing.
Pemerintah AS sendiri tahun lalu pernah mengambil tindakan keras sebagai balasan terhadap pengenaan pajak digital 3 persen untuk setiap transaksi yang berlakukan di Perancis.
AS mengancam akan mengenakan tarif setara US$ 2,4 miliar untuk barang-barang asal Perancis, termasuk keju dan champagne, setelah penyelidikan serupa dilakukan oleh pemerintah Donald Trump.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan akan mewajibkan perusahaan penyedia platform digital yang menjual barang tak berwujud ke konsumen Indonesia untuk menyetor PPN.
Pemerintah telah menyiapkan sanksi berupa pemblokiran bagi para penjual, pemilik platform digital baik asing maupun domestik yang tidak patuh.
Penegasan soal wajib pungut PPN ini tampak dalam PMK No.48/PMK.03/2020 yang mengatur mekanisme penunjukkan pemungut, pemungutan & penyetoran PPN atas impor barang kena pajak (BKP) yang tidak berwujud atau intangible goods.
Ketentuan ini bakal diterapkan mulai 1 Juli 2020. Adapun, jika merujuk ke penjelasan beleid tersebut, ada tiga pihak yang bisa ditunjuk sebagai wajib pungut.
Pertama, penjual barang atau jasa dari luar negeri. Kedua, platform digital atau penyedia pasar digital.
Ketiga, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) dalam negeri, jika produk digital dari luar negeri dijual di pasar domestik.