Find Us On Social Media :

Mengatasi Rintangan Utama dalam Melakukan Transformasi Digital

By Cakrawala, Senin, 1 Februari 2021 | 22:00 WIB

Ilustrasi transformasi digital.

Penulis: David Rowe (EVP & CMO, Rimini Street)

 

Sudah sejak lama, TI memiliki tanggung jawab yang jelas: menjaga kelancaran kerja sistem bisnis penting, mengendalikan biaya, dan memenuhi persyaratan keamanan dan kepatuhan. Bahkan sampai saat ini, sebagian besar anggaran TI umumnya digunakan untuk menjaga kelangsungan operasional. Namun, cara pandang tradisional ini dapat menjadi rintangan bagi perusahaan dalam mempercepat peningkatan pengalaman pelanggan yang dimungkinkan oleh transformasi digital.

Belanja industri TIK (teknologi informasi dan komunikasi) alias ICT (information and communications technology) global diharapkan tumbuh melebihi dua kali lipat tingkat pertumbuhan PDB pada 2022, yang dipicu oleh investasi pada sejumlah teknologi baru seperti AI, robotika, dan AR/VR. Berdasarkan data perusahaan analis IDC, peluang pertumbuhan di Indonesia terbuka lebar. Belanja ICT 2018 yang diperkirakan mencapai IDR 443 triliun digunakan Indonesia dalam upayanya menjadi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.

Peran industri TI berubah dengan cepat dan makin penting. Para CIO pun harus menyusun ulang prioritasnya: yang tadinya memastikan operasional perusahaan berjalan lancar, kini membantu perusahaan mencapai tujuan bisnis dengan memanfaatkan teknologi sebagai alat transformasi. Tim TI yang sukses makin perlu memusatkan perhatian pada pertumbuhan bisnis, peningkatan margin, dan perluasan secara global melalui beragam strategi seperti peningkatan pengalaman pelanggan dan pemanfaatan model bisnis baru.

Hasil survei PwC mengungkap bahwa para CEO negara-negara ASEAN menuding kesenjangan informasi antara data yang diinginkan dan yang didapatkan sebagai penyebab utama ketidakmampuan perusahaan “membersihkan, menggabungkan, dan mengekstraksi nilai dari big data, serta mempercepat penerapan AI”. Transformasi digital menyuguhkan sejumlah tantangan sekaligus peluang selagi perusahaan-perusahaan ini bergulat dengan laju perubahan teknologi, ancaman siber yang terus bertambah, dan kurangnya tenaga ahli.

Para CIO tidak akan mampu membantu perusahaan bertransformasi secara digital dan terus bertumbuh jika tidak memperluas pola pikir mereka―dari yang tadinya sekadar mempertahankan status quo, menjadi terbuka terhadap eksperimen dan inovasi tanpa henti. Namun, semua ini baru bisa dicapai jika perusahaan mampu menyisihkan dana untuk berinvestasi pada sejumlah inisiatif digital baru. Gartner menemukan bahwa, meskipun para CIO di kawasan ini diharapkan berkinerja setara dengan pemimpin global, anggaran TI yang disediakan perusahaan tidak sepadan dengan harapan tersebut.

Pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk mendorong upaya digitalisasi dengan memperkenalkan peta jalan “Making Indonesia 4.0” dan e-commerce, serta berbagai inisiatif lainnya. Menurut pengamatan AT Kearny, meskipun investasi semacam ini penting untuk memperkuat infrastruktur dan mendorong transformasi digital, upaya-upaya itu masih belum mampu mengartikulasikan visi tunggal untuk pembangunan negara.

Apakah Anda Terjebak dalam Model Tradisional?

Agar para CIO dapat memanfaatkan anggaran sebaik mungkin untuk mendukung prioritas bisnis saat ini, mereka perlu mendobrak model anggaran tradisional yang fokus pada biaya operasional dan mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan bisnis yang lebih inovatif dan transformatif. CIO Agenda yang dirilis Gartner mengemukakan bahwa digitalisasi dan pertumbuhan yang berpusat pada pelanggan merupakan prioritas teratas perusahaan yang harus didukung CIO.

Porsi yang disisihkan dalam anggaran teknologi tradisional untuk mendorong transformasi bisnis dan inisiatif digital baru biasanya sangat kecil. Memastikan platform yang kuat dan aman demi terlaksananya operasional bisnis adalah taruhan bagi tim TI. Namun, sayangnya, sistem yang ada saat ini dan model bisnis vendor warisan penyertanya, menyedot sebagian besar sumber daya TI dan menghalangi investasi yang diperlukan untuk transformasi digital.

Jika mempertahankan status quo membatasi anggaran inovasi dan menghambat tercapainya tujuan bisnis, bagaimana para CIO dapat mengendalikan biaya dan kembali mendapatkan momentum? Salah satu bidang TI yang berpeluang dihemat besar-besaran adalah model vendor perangkat lunak warisan tradisional yang digunakan untuk menjalankan sistem ERP, beserta biaya pemeliharaan dan dukungannya.

Untuk mendanai transformasi digital, perhatikan total biaya pemeliharaan yang dibutuhkan untuk menjalankan perangkat lunak perusahaan dari vendor ERP besar, seperti Oracle atau SAP, serta laba atas investasi (ROI) dari perangkat lunak tersebut. Agar dapat sungguh-sungguh memahami total biayanya, CIO harus memperhitungkan juga biaya-biaya lain di luar pemeliharaan, yang umumnya sebesar 22% dari biaya lisensi yang dibayar di awal dan dibayarkan tiap tahun.

Platform ERP tradisional juga terus-menerus mengharuskan peningkatan berbiaya tinggi untuk tetap memperoleh dukungan penuh, serta biaya-biaya lain terkait model dukungan vendor perangkat lunak yang kurang efisien, seperti biaya untuk mendukung kode ubah suai dan model dukungan standar. Iuran pemeliharaan tahunan hanya sebagian kecil biaya yang tampak, padahal biaya pemeliharaan keseluruhannya dapat jauh melampaui nilai iuran tersebut.

Dengan pendekatan pemeliharaan yang tepat, perusahaan TI dapat menghemat biaya dukungan tahunan sampai setengahnya sekaligus menunda atau menghindari biaya peningkatan produk yang tinggi, sehingga dana dapat dialokasikan untuk prioritas yang lebih penting.

Kuncinya adalah Kemampuan Berinovasi Secara Cepat

Kelincahan inovasi adalah strategi efektif untuk mendorong transformasi di dunia nyata. Dengan pendekatan kelincahan inovasi, tim TI dapat berinovasi lebih cepat dengan mengoptimalkan sistem TI inti untuk menghemat sumber daya―manusia, uang, dan waktu―sehingga dapat dialokasikan untuk inisiatif yang lebih berdampak langsung dan cepat terhadap bisnis. Pilihan sebaliknya, yaitu menunggu platform ERP baru dari vendor warisan dan mengeluarkan dana besar untuk implementasi ulang sistem baru yang belum terbukti ini, dapat menghambat laju perusahaan memperoleh daya saing di dunia digital.

Dengan memanfaatkan sumber daya yang optimal untuk berinvestasi secara agresif pada inisiatif digital dari sekarang, para CIO dapat mengedepankan inovasi sekaligus menghindari tugas penyempurnaan “inti digital” yang sulit dicapai dan tampaknya tak kunjung usai. Ketimbang berinvestasi pada implementasi ulang atau peningkatan sistem penyimpanan data yang telah mapan, fokuskan investasi digital pada titik pertemuan dengan sistem pengumpulan data, yaitu tempat perusahaan berinteraksi dengan para pelanggan, karyawan, dan mitra.

Analis industri kerap merekomendasikan pemaduan pengelolaan aplikasi ERP yang telah matang dengan investasi digital baru seperti sistem cloud, sosial, seluler, IoT, dan analitik lewat konfigurasi hybrid IT. Pendekatan hybrid IT adalah yang terbaik dari kedua sisi, yang memadukan fondasi kuat berupa aplikasi ERP inti dengan investasi digital inovatif yang saat ini diperlukan untuk menciptakan daya saing.

Anggaran merupakan kendala terbesar bagi banyak perusahaan TI dalam menghadapi tantangan yang ada saat ini. Dengan pendekatan optimasi TI yang tepat, perusahaan Anda akan mampu bergerak maju untuk menggali potensi ekonomi digital. Anda tidak perlu menunggu untuk berinovasi.