Penulis: Sailakshmi Baskaran (Product Consultant, ManageEngine)
Data adalah fokus utama bagi perusahaan-perusahaan saat ini. Kemampuan perusahaan untuk bisa bertahan, apalagi untuk bisa terus bergerak maju, bergantung pada kemampuannya dalam mengelola dan memanfaatkan data dengan baik. Tentunya, hal ini bukanlah tugas yang mudah mengingat kompleksitas dari data 3V (volume, velocity, and variety) — volume, kecepatan, dan variasi. Menurut artikel dari IBM baru-baru ini, perusahaan bisa menghasilkan 2.500.000.000.000.000.000 byte data setiap hari atau 2,5 miliar GB data! Sebagai gambaran banyaknya, Anda membutuhkan 2,5 juta hard drive berkapasitas 1TB untuk mampu menyimpan seluruh data tersebut.
Secara tradisional, perusahaan mengandalkan para analis data untuk mengakses dan memproses data dalam volume besar. Namun, proses ini memakan waktu yang lama dan kemudian sering kali mengharuskan pemimpin perusahaan untuk membuat keputusan dari data lama. Kebutuhan saat ini adalah demokratisasi data, sebuah proses yang memungkinkan setiap orang dalam perusahaan mengakses data untuk pengambilan keputusan. Dengan mendemokratisasi data, perusahaan dapat menjembatani besarnya kesenjangan antara analis data dan pembuat keputusan.
Ambil contoh Amazon, perusahaan ritel daring raksasa ini menerapkan strategi cerdas penetapan harga yang menggulung beberapa pesaingnya. Amazon menjual banyak produk dengan harga termurah dan menawarkan diskon yang besar. Amazon dikenal sebagai perusahaan yang mengubah harga produknya lebih dari 2,5 juta kali sehari, berbeda dengan Walmart atau Best Buy yang mengubah harga produknya hanya sekitar 50.000 kali sebulan. Hal ini hanya akan mungkin terjadi jika perusahaan-perusahaan ritel tersebut mendemokratisasi data dan mendesentralisasi pengambilan keputusan kepada orang-orang yang bekerja di wilayah dan departemen yang berbeda.
Hambatan untuk Demokratisasi Data
Terlepas dari banyaknya manfaat demokratisasi data, perusahaan tetap terus berjuang untuk menciptakan budaya kerja yang bebas dan didorong oleh data karena satu atau beberapa alasan berikut ini.
1. Kebiasaan Pengelolaan Data yang Kuno
Kebiasaan perusahaan merupakan penghalang terbesar untuk demokratisasi data. Beberapa perusahaan lebih memilih mengandalkan tim analis data terpusat yang membuat laporan untuk tim fungsional. Struktur ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan karena tim fungsional sering kali harus menunggu analis mengolah data. Meskipun hal ini dapat diterima untuk masalah yang kompleks, tetapi penundaan akan perubahan tersebut dapat dihindari untuk masalah yang tidak terlalu rumit jika data didemokratisasi dan didesentralisasi.
Demokratisasi data memudahkan data untuk dapat digunakan oleh tim fungsional serta memperkuat dan membantu mereka untuk membuat keputusan dari hari ke hari. Perusahaan masih dapat mengandalkan para analis data untuk pelaporan dan analisis yang kompleks, tetapi demokratisasi data memungkinkan tim fungsional membuat keputusan yang lebih baik dan memiliki kendali lebih besar atas operasional perusahaan.
Selalu mengandalkan analis data untuk memperoleh informasi dapat menunda proses pengambilan keputusan dan menyebabkan perusahaan kehilangan peluang potensial. Jika Amazon harus bergantung pada analis data untuk memangkas harga produk sebagai respons terhadap persaingan, Amazon mungkin kehilangan peluang-peluang penting.
2. Mitos Bahwa Analisis Data Membutuhkan Keterampilan Khusus
Dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI — artificial intelligence) dan pembelajaran mesin (ML — machine learning), ungkapan bahwa analisis data adalah tugas khusus sudah tidak relevan lagi. Kerangka kerja demokratisasi data yang sukses tidak lagi membutuhkan pengkodean ekstensif atau kecanggihan keterampilan matematika. Pekerjaan berat dapat dengan mudah didelegasikan ke perkakas analisis data. Jadi, para pekerja yang berwawasan luas dapat fokus untuk menghasilkan informasi unik yang mungkin terlewatkan seandainya analisis data telah didelegasikan atau dialihdayakan ke entitas eksternal.
3. Kurangnya Keamanan Data dan Kebijakan Privasi
Mulai dari Microsoft sampai Estée Lauder, tidak ada perusahaan yang kebal terhadap ancaman keamanan atau kebocoran data. Pada tahun 2020 lalu saja, 36 miliar rekam catatan yang mengejutkan telah mengalami pelanggaran data. Masalah keamanan ini telah memaksa perusahaan untuk tetap skeptis akan demokratisasi data di antara pekerja mereka.
Keberhasilan penerapan kerangka kerja demokratisasi data melibatkan pembuatan atau pembaruan kebijakan keamanan data dan tata kelola data perusahaan. Dengan Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR — General Data Protection Regulation) dan kerangka kerja privasi serupa lainnya yang diberlakukan di seluruh dunia, inilah saatnya bagi perusahaan untuk meninjau kembali kebijakan tata kelola data mereka, melatih para staf, dan memanfaatkan analitik data.
4. Kekhawatiran akan Kekeliruan Penggambaran dan Duplikasi
Dua kekhawatiran terbesar yang mengganggu pengambil keputusan adalah kesalahan penyajian (pengguna nonteknis membuat asumsi yang salah) dan duplikasi (terlalu banyak pengguna yang membuat berkas duplikat dan dengan cepat memenuhi basis data). Untuk memastikan data tidak diduplikasi atau disalahartikan, perusahaan harus menerapkan kontrol akses terperinci, seperti baca-tulis, hanya-baca, pembuatan laporan, lihat-perincian, dan kontrol ekspor; berdasarkan peran pekerjaan pengguna, hierarki fungsional, dan persyaratan lainnya.
Peran TI dalam Demokratisasi Data
Dengan automasi yang menangani sebagian besar tugas TI yang berlebihan, tim TI akhirnya berada dalam posisi untuk secara aktif berkontribusi pada kelangsungan dan pertumbuhan perusahaan mereka. Kandidat yang paling cocok untuk melayani sebagai penjaga gerbang data dalam perusahaan adalah tim TI. Pasalnya, mereka yang dapat mengelola tugas-tugas untuk memelihara data dan menciptakan proses demokratisasi data yang aman yang selaras dengan kebijakan tata kelola data dan aturan perusahaan.