Akses yang merata terhadap layanan kesehatan masih menjadi salah satu persoalan pelik di negeri dengan banyak pulau ini. Teknologi bisa menjadi salah satu solusi.
Inilah salah satu alasan di balik upaya transformasi digital yang telah dilakukan oleh Siloam Hospitals Group (SHG) sejak tahun 2017 silam.
"(Teknologi) mungkin bukan satu-satunya jalan keluar tapi kami percaya teknologi ini akan bisa membantu dalam memecahkan masalah ini," ujar Ryanto M. Tedjomulja, Chief Information Officer, Siloam Hospitals Group. Bukan hanya memperluas jangkauan layanan, teknologi juga diyakini Ryanto akan membantu rumah sakit menyajikan layanan kesehatan yang semakin berkualitas.
Sampai tahun lalu, SHG telah menyediakan fasilitas fisik layanan kesehatan di 39 rumah sakit dan 52 klinik di 28 kota di Indonesia. Dan Rumah Sakit Siloam akan terus memperluas jangkauan layanannya, di antaranya dengan mulai mempraktikkan konsultasi jarak jauh atau teleconsultation.
Pandemi Percepat Adopsi Telekonsultasi
Layanan teleconsultation sendiri sebenarnya sudah ada dalam agenda transformasi digital RS Siloam. Namun pandemi mengharuskan implementasinya dipercepat.
"Ini salah satu contoh teknologi yang kami terapkan sebagai antisipasi untuk mengatasi pandemi Covid ini," ucap Ryanto tentang implementasi teleconsultation di RS Siloam.
Ia menjelaskan bahwa ketika pandemi COVID-19 baru merebak dan kecepatan penularan sedang tinggi-tingginya, kunjungan pasien justru menurun drastis, sampai lebih dari 60% karena masyarakat takut pergi dan berobat ke rumah sakit.
"Jadi, kebutuhan untuk pelayanan kesehatan sebenarnya tetap ada, orang yang sakit tetap harus diobati. Tapi yang terjadi adalah orang menunda, menunda kunjungan ke rumah sakit atau pengobatan. Ini yang sebetulnya juga agak berisiko, karena kalau ditunda terlalu lama kondisi (pasien) bisa menjadi lebih buruk," jelas pria yang diamanahi untuk memimpin transformasi digital di Siloam Hospitals Group ini.
Oleh karena itu, yang menjadi tantangan bagi RS Siloam adalah bagaimana rumah sakit bisa menjaga patient safety dan juga safety dari para tenaga kesehatan, tapi tetap bisa memberikan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. "Nah untuk itu kami harus mengubah cara kerja, kami harus berpikir ulang apakah ada cara lain untuk melakukan hal tersebut, apakah ada teknologi yang bisa diterapkan," cerita Ryanto.
Dari situlah kemudian RS Siloam memutuskan untuk menerapkan sistem konsultasi daring (online). Proses implementasinya terbilang cepat. "Kami pertama menerima pasien COVID-19 di Siloam itu pada awal Maret di tahun 2020. Dalam sebulan setelah itu, di tanggal 8 April 2020 kami mulai meluncurkan layanan untuk konsultasi online," jelas Ryanto.
Telekonsultasi Memperluas Akses
Dengan konsultasi jarak jauh ini, pasien dapat menjadwalkan pertemuan dan berkonsultasi dengan dokter secara daring. Obat-obatan yang diresepkan dokter pun dikirimkan ke rumah pasien. Dan ketika pasien membutuhkan pemeriksaan lab, RS Siloam juga menawarkan kunjungan petugas lab ke rumah pasien.
Bukan hanya meningkatkan keamanan dan keselamatan pasien serta para tenaga medis dan staf lain di rumah sakit, konsultasi jarak jauh ini juga membukakan akses yang lebih luas bagi masyarakat. "Misalnya nih, ada pasien, misalnya, dari Medan. Mungkin pasien ini ingin berkonsultasi dengan dokter bedah saraf kami yang ada di Jakarta. Dalam situasi sebelum adanya telekonsultasi ini, pasien harus travel nih, menyempatkan diri untuk melakukan konsultasi atau melakukan tindakan di Jakarta. Tapi dengan teleconsultation ini, tiba-tiba akses kita juga jadi terbuka. Jadi pasien yang ada di Medan itu bisa lakukan melakukan konsultasi jarak jauh dengan dokter bedah saraf di Jakarta," papar bapak dari dua anak ini.
Kalaupun harus ada tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien setelah konsultasi jarak jauh tadi, jaringan rumah sakit Siloam Hospitals Group sudah mencakup 28 kota di seluruh Indonesia.
"Jadi, ini memang salah satu keunikan Siloam Hospitals, kami punya network yang cukup luas. Antarjaringan ini memang saling terhubung dengan semacam center of excellence, saling support dalam mengobati pasien," imbuhnya.
Awalnya, baik pasien maupun para dokter masih diliputi keraguan untuk menggunakan layanan konsultasi jarak jauh ini. Namun seiring berjalannya waktu, banyak pihak menyadari manfaat layanan ini, terutama dalam situasi pandemi seperti saat ini.
"Pada saat kami pertama lakukan pilot itu hanya ada 5 dokter yang praktek di online itu ya, di awal April 2020. Tapi setelah setahun, sudah ada 1074 dokter spesialis yang praktek di online. Dari 39 rumah sakit, dokter dari 28 rumah sakit sudah bergabung," jelas Ryanto.
Teknologi Tak Selalu yang Utama
Teknologi juga berperan dalam aspek layanan kesehatan yang lebih berkualitas. Misalnya, memberikan hasil pemeriksaan dengan lebih cepat melalui surat elektronik (surel/email).
Adanya pandemi membuat rumah sakit menyelenggarakan tes terkait COVID-19, seperti Antigen dan PCR. Awalnya, ketika hasil tes tersebut keluar, pasien atau keluarganya harus mengambilnya secara langsung di rumah sakit. "Tapi kalau kita bicara tentang COVID-19, speed benar-benar penting ya, untuk orang itu bisa tahu apakah hasilnya positif atau negatif. Waktu beberapa jam saja akan sangat menentukan kecepatan contract tracingnya," jelas Ryanto.
Dengan alasan ini, RS Siloam pun telah menerapkan pengiriman hasil tes COVID-19 maupun hasil tes kesehatan lainnya dan hasil pemeriksaan radiologi melalui surel.
Contoh peningkatan layanan lainnya adalah perbaikan waktu tunggu pasien. Pasalnya, menurut pengamatan Ryanto, waktu tunggu biasanya merupakan komplain terbesar pasien.
Namun khususnya dalam hal ini, teknologi bukan porsi terbesar dalam upaya memangkas waktu tunggu. "Pada saat kami analisis mengapa waktu tunggu lama, salah satu yang kami temukan adalah sistem pendaftaran ke dokter yang masih memakai sistem first come first served, ya sistem antrean aja. Jadi sebenarnya, salah satu yang kita lihat adalah problemnya bukan di teknologinya, tapi di sistem gimana kita mengatur antrean itu," tutur pria yang tekah berkecimpung di dunia teknologi selama hampir 20 tahun ini. Walhasil, hal pertama yang dilakukan adalah mengubah kebijakannya, mengubah perilaku orang, dan mengintegrasikan teknologi yang sesuai untuk kebutuhan tersebut.
Tiga Fase Transformasi
Transformasi digital di Siloam Hospitals Group sendiri sudah dimulai sejak 2017 sehingga RS Siloam sudah memiliki fondasi yang relatif lebih kokoh saat pandemi dimulai.
Ryanto menjelaskan bahwa transformasi digital di Siloam Hospitals Group dilakukan dalam tiga fase. "Tidak semuanya sekuensial, bisa sedikit parallel juga," imbuhnya.
Fase pertama adalah konsolidasi. Di tahap ini, Ryanto dan timnya melakukan konsolidasi dan standardisasi sistem dan teknologi yang diimplementasikan di seluruh rumah sakit yang ada di jaringan Siloam Hospitals Group.
Setelah menjadi satu, terkonsolidasi, dan memiliki fondasi yang cukup kuat, fase selanjutnya adalah digitalisasi. "Di tahap awal (transformasi digital) seringkali kita maunya yang canggih-canggih dulu, yang seksi-seksi, seperti mobile apps, AI, dan sebagainya. Tapi kami percaya kita nggak akan bisa lari sebelum kita belajar merangkak, dan belajar jalan. Nah kalau fondasi sudah besar, di tahap kedua ini digitalisasi jadi lebih cepat," ujar lulusan Teknik Industri, di ITB ini.
Ia mencontohkan saat mengembangkan aplikasi mobile di mana salah satu fungsi pertamanya adalah appointment. "Karena sistem kami sudah jadi satu dan sudah punya akses ke semua rumah sakit kami, begitu kami menggarap mobile app, itu bisa lebih cepat. Begitu pula saat implementasi electronic medical record (EMR)," papar Ryanto.
Fase satu dan dua itu telah merealisasikan beberapa inisiatif digital baik di sisi operasional maupun patient care. Salah satunya adalah Hospital Information Systems (HIS) yang memungkinkan rumah sakit memiliki database pasien tunggal sehingga pasien dapat berobat ke rumah sakit Siloam manapun.
Untuk sistem keuangan, Siloam Hospitals Group juga telah mengimplementasikan ERP dengan sistem pelaporan manajemen yang sudah terautomasi. Platform analytics juga sudah disiapkan, berupa data warehouse dan business intelligence yang bertugas membantu di area, seperi keuangan dan operasional. "Kami juga sudah memiliki EMR, yang di dalamnya mencakupkan e-prescription, jadi dokter sudah memakai resep online. Kami juga mengatur kerja perawat dengan EMR," cerita Ryanto.
Kanal-kanal digital, seperti situs web dan aplikasi mobile, juga terus dikembangkan. "Mobile apps kami fungsinya mulai bermacam-macam. Salah satunya adalah symptom checker, di mana ada teknologi AI di belakangnya. Fitur ini bukan untuk diagnosa tapi untuk memberikan informasi awal bagi dokter maupun pasien.
Fase kedua memang belum tuntas tapi fase ketiga, yaitu fase inovasi, sudah dimulai, yaitu dengan melakukan eksperimen terhadap teknologi-teknologi baru, seperti AI, IoT, 3D printing.
Tantangan Komplekitas
Sebagai pemimpin TI di lingkungan rumah sakit, Ryanto dihadapkan pada kompleksitas sistem dan proses, safety pasien, para tenaga medis dan staf lainnya saat menggawangi transformasi digital.
Oleh karena itu, salah satu tantangan dalam transformasi ini adalah change management. "Teknologi harus mendorong perubahan tapi pada akhirnya kita harus berhadapan dengan manusia. Change management ini mungkin tantangan yang paling besar menurut saya," ucapnya.
Tantangan yang tak kalah pelik adalah memilih teknologi yang tepat guna, teknologi yang benar-benar dapat membantu memecahkan masalah atau memenuhi kebutuhan.
Untuk yang satu ini, tak ingin pusing, Ryanto berpegang pada prinsip yang ia kutip dari salah satu mantan bosnya. "Teknologi tidak harus sempurna, tapi berguna," ucapnya seraya menambahkan bahwa digitalisasi bukan supaya keren.
Namun jika teknologi keren dan canggih semacam robotics exoskeleton dan surgical robot dapat mendukung upaya RS Siloam dalam menyajikan layanan kesehatan yang berkualitas dan bisa diakses banyak orang, Ryanto M.Tedjomulja dan timnya mungkin tak akan segan mengimplementasikannya.