Find Us On Social Media :

Begini Cara Teknologi Cloud Kurangi Emisi Karbon hingga 78 Persen

By Adam Rizal, Selasa, 10 Agustus 2021 | 13:30 WIB

Ilustrasi Teknologi Cloud

Saat ini jejak karbon atau carbon footprint menjadi masalah serius dunia karena karbon berupa jumlah emisi karbon dioksida (CO2) dari memberikan dampak negatif bagi lingkungan, termasuk perubahan iklim.

Tak mengherankan, kalangan pemerintahan di berbagai belahan dunia berupaya menekan emisi karbon, termasuk dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di negaranya.

Perusahaan penyedia layanan cloud, Amazon Web Services (AWS), menyebutkan bahwa teknologi komputasi awan alias cloud computing bisa membantu perusahaan memangkas emisi karbon rata-rata hingga 78 persen.

"Keseriusan dan fokus kami dalam berinovasi berhasil meningkatkan upaya penghematan energi pada operasi data center secara lebih cepat dibandingkan operasi pada infrastruktur on-premises tradisional," ujar Ken Haig, Head of Energy Policy for Asia Pacific & Japan at AWS.

AWS merinci ada 67 persen dari total pengurangan carbon footprint itu tercapai berkat server cloud yang hemat energi, berteknologi canggih, serta dimanfaatkan secara optimal dan efisien. Sementara itu, pengurangan emisi karbon 11 persen sisanya didapat berkat pusat data (data center) cloud yang menggunakan daya dan sistem pendingan yang lebih efisien.

"Metode pendinginan yang efisien, aliran udara yang dioptimalkan, dan infrastruktur kelistrikan yang lebih baru dan lebih efisien bisa mengurangi kerugian dari distribusi daya di data center," tulis AWS di laporan risetnya.

AWS bersama dengan 451 Research melakukan survei terhadap 500 perusahaan yang sudah bermigrasi dari pusat data lokal (on-premise) ke pusat data cloud, menggunakan layanan cloud AWS yang tersebar di wilayah Asia Pasifik. Perusahaan yang disurvei berasal dari negara Australia, India, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.

Potensi pemangkasan emisi karbon dari pemanfaatan teknologi cloud ini bisa ditingkatkan hingga lebih dari 90 persen. Asalkan, penyediaan layanan cloud seperti AWS bisa menggunakan energi terbarukan (renewable energy) lebih banyak lagi, sebagai sumber energi layanan cloud miliknya. Menurut Bloomberg New Energy Finance (BNEF), hingga akhir 2020, baru terdapat 75 PPA korporasi (dengan total 4,5GW) yang telah dieksekusi di kawasan Asia Pasifik hingga hari ini.

Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kawasan Eropa yang sudah mengeksekusi sekitar 233 (14GW). Di Amerika Serikat sendiri angka ini tercatat sebesar 959 (43GW).

AWS menghitung, bila operator cloud perusahaannya bisa menggunakan 100 persen energi terbarukan, maka potensi pengurangan carbon footprint perusahaan yang ada di wilayah Asia-Pasifik akan bertambah hingga 15 persen.

Alhasil, secara total, teknologi cloud yang menggunakan 100 persen sumber energi terbarukan berpotensi mengurangi jejak karbon hingga 93 persen. Sayangnya, menurut Direktur Riset 451 Research, Kelly Morgan, wilayah Asia-Pasifik sendiri memiliki hambatan yang signifikan untuk bisa memaksimalkan potensi pengurangan emisi karbon hingga 93 persen dari penggunaan teknologi cloud ini.

Sebabnya, belum ada banyak pilihan energi terbarukan yang dapat diakses dan terjangkau oleh perusahaan-perusahaan di Asia Pasifik.

Perusahaan-perusahaan juga belum menganggap pengembangan infrastruktur digital sebagai inti bisnis dari sebuah perusahaan, sehingga bagi mereka biaya energi dan jejak karbon di data center bukan menjadi prioritas mereka.

"Jadi ini membuat sejumlah besar potensi pengurangan karbon secara maksimal sulit tercapai," kata Morgan, sebagaimana dihimpun IT Brief New Zealand.

AWS sendiri dikatakan Ken Haig, saat ini tengah berupaya keras dalam pengadaan energi yang 100 persen terbarukan untuk mendukung seluruh kebutuhan energi di tahun 2030.

Salah satu upayanya adalah dengan menjalin kolaborasi dengan Vector, perusahaan energi terbesar di Selandia Baru, dalam membangun New Energy Platform (NEP). NEP yang dibangun AWS merupakan solusi analitik berbasis Internet of Things bagi industri energi dan didayai oleh teknologi AWS untuk membantu menghadirkan opsi-opsi energi yang dapat diandalkan, terjangkau dan bersih.

Dampak negatif Jejak karbon mencakup emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil di pabrik, pemanas, transportasi, serta emisi yang diperlukan untuk menghasilkan listrik yang terkait dengan barang dan jasa yang dikonsumsi.

Menurut keterangan di laman Zero Waste Indonesia, jejak karbon dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan, seperti kekeringan, berkurangnya sumber air bersih, cuaca ekstrem, bencana alam, dan lain-lain.