Jika Anda mengunjungi Pulau Buton, sempatkanlah untuk menikmati keindahan Benteng Keraton Wolio yang berada di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Benteng yang kaya akan sejarah dan nilai budaya ini merupakan saksi hidup dari kebesaran Kesultanan Buton.
Benteng Keraton Wolio berdiri tepat di atas perbukitan yang terletak di jantung Kota Bau-Bau. Dengan ketinggian mencapai 300 meter di atas permukaan laut, Anda dapat melihat berbagai jenis kapal yang lalu-lalang di atas selat Buton.
Benteng ini dibangun di empat era kesultanan. Dimulai dari era Sultan Buton III yang bernama La Sangaji pada akhir abad Ke-16 dan dirampungkan di era Sultan Buton V1 yang bernama La Buke pada awal abad Ke-17.
Sejak awal dibangun, Benteng Keraton Wolio memiliki fungsi utama sebagai pertahanan Kesultanan Buton dari para bajak laut yang ingin menguasai Pulau Buton. Maklum, perairan di Laut Buton merupakan jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat strategis.
Sehingga, benteng ini dibuat memanjang dengan luas 23,375 hektar dan dikelilingi tembok yang mencapai 2.740 meter. Kemudian, pada tiap ujungnya terdapat 16 pos penjagaan (bastion) yang dilengkapi dengan enam meriam siap tembak.
Benteng yang memiliki 12 lawa (pintu) ini uniknya dibangun menggunakan campuran batu karang dan batu pasir yang diracik sedemikian rupa hingga menjadi batuan kokoh. Alhasil, meski diterpa berbagai fenomena alam dan cuaca, benteng ini tetap kokoh berdiri hingga saat ini.
Merawat Kelestarian Benteng Keraton Wolio
Sebagai benteng yang telah ditetapkan menjadi bangunan pertahanan terluas di dunia oleh Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) bersama Guinness Book of World Record pada 2006, perlu kesadaran yang tinggi dari masyarakat atau Pemerintah Kota (Pemkot) untuk menjaga kelestarian Benteng Keraton Wolio.
Hal ini seperti yang dilakukan salah satu warga asli Pulau Buton, Wawan Erwiansyah. Pria yang lahir di dalam wilayah Benteng Keraton Wolio ini melihat kurangnya kesiapan dinas-dinas terkait dalam pelestarian Benteng Keraton Wolio, khususnya untuk menjadikan benteng ini sebagai pusat wisata sejarah dan budaya.
Wawan akhirnya berinisiatif untuk membentuk komunitas yang menyediakan jasa pemandu wisata bagi para turis yang dirintis pada tahun 2015. Ia mengungkap tujuan utama dari komunitas ini selain menjadi pusat informasi adalah merangkul anak muda-mudi yang ada di wilayah benteng.
“Dulu saya meninggalkan Kota Baubau pada akhir dekade 90-an. Kemudian, ketika kembali menginjakkan kaki di sini pada 2013, saya begitu miris melihat anak muda yang berada di dalam wilayah benteng. Mereka melakukan banyak kegiatan negatif secara terbuka dan mengganggu wisatawan yang berkunjung ke sini,” ujarnya saat ditemui di wilayah sekitar Benteng Keraton Wolio.
Wawan kemudian membuka pelatihan kecil-kecilan untuk mengajarkan muda-mudi ini agar bisa menjadi pemandu wisata yang baik dan berwawasan luas. Meski awalnya terasa berat, tetapi lambat laun dirinya mampu bertahan hingga memiliki 17 anggota.
Selain itu, kegiatan negatif seperti berjudi, menenggak minuman keras, hingga mengganggu wisatawan yang berkunjung perlahan mulai memudar. Gebrakan Wawan pun akhirnya menjadi lahan baru bagi muda-mudi untuk mencari rezeki.