“Terkait dengan ketatanegaraan kita, tentang administrasi negara kita, terkait dengan sistem pemerintahan kita, dan sistem pemerintahan berbasis elektronik maka kalau kita amati sistem administrasi negara tidak kebal terhadap disrupsi,” tambahnya.
Ibenk pun memaparkan faktor yang menyebabkan disrupsi, pertama, Perubahan Politik: Perubahan politik menuju tatanan kenegaraan yang baru; kedua, Perubahan Demografi: Peningkatan kecakapan, lapangan pekerjaan, angka ketergantungan; ketiga, Perubahan ekonomi: Pergerakan poros ekonomi global & nasional, masuknya Indonesia ke G20, perubahan status kemampuan ekonomi masyarakat, inovasi berusaha baru.
“Disrupsi juga dapat disebabkan Perubahan urbanisasi: Desa yang menjadi kota, telenetworking, marketplace; Perubahan Teknologi: Revolusi Industri 4.0, khususnya di bidang TIK; dan Terjadi Bencana Krisis kemanusiaan, bencana alam, termasuk pandemi.”
“Pemerintah sudah mengeluarkan Inpres No. 3 Tahun 2003 tentang e-Government, kita masih mendorong dengan cepat, tetapi ternyata tidak cukup kuat. Yang paling kuat mendorong pemerintah untuk bisa bekerja secara online, secara lebih efektif dan efisien, ternyata bukan presiden bukan menteri, tetapi pandemi. Hal ini menjadi satu tantangan bagi kita semua bahwa ternyata bencana alam pandemi itu juga menyumbang bagi perubahan suatu pola ketatanegaraan. Kita sadar atau tidak sadar, disrupsi sudah terjadi.”
Direktur eGovernment Kementerian Kominfo itu melanjutkan pemaparannya, “Pada hampir semua aspek, teknologi memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Kalau kita melihat bagaimana transformasi pemerintahan dari mulai sebelum kita mengenal teknologi informasi dan komunikasi yang kami sebut dengan Government 1.0 dimana TIK belum ada peran disitu, dimana datanya semua manual, bersilo-silo dsb, keputusan diambil secara lambat, ASN menguasai teknologi konvensional, eksekusi keputusan lambat, ego sektoral kental.”
“Kemudian di era tahun 2000-an, muncul Inpres No. 3 tahun 2003 tentang Strategi dan Kebijakan e-Government Indonesia maka Indonesia sudah masuk dalam era e-Government. Dari Government 1.0 menuju Government 2.0, dari Government menjadi e-Government.”
Kemudian berlanjut terjadi eforia dimana semuanya berbelanja infrastruktur. “Belanja infrastruktur yang berlebihan juga ternyata tidak membangun suatu prestasi. Justru terjadi potensi adanya pemborosan atau inefisiensi atau tidak bekerja sama antar sektor,” ungkap Ibenk.
“Dari eGovt, dokumen manual yang dielektronikan, muncullah kesadaran bagaimana kita berkolaborasi antar sektor. Indonesia semestinya sudah mulai masuk dalam iGovt integrated government. Didalam integrated government ini, Perpres SPBE sudah mulai efektif, Perpres Satu Data sudah mulai efektif, antar sektor saling bekerja sama, data kependudukan dipakai dimana-mana, data kesehatan bisa dipakai dimana-mana, Pedulilindungi sudah menghubungkan ribuan titik layanan kesehatan dan sebagainya,” terangnya
Tetapi kita masih punya satu pekerjaan rumah, Ibenk melanjutkan penjelasannya, dimana kita harus mengarah pada Smart Government, bukan hanya sekedar kita punya data elektronik, bukan sekedar data elektronik dipertukarkan antar sektor tetapi kita sudah harus sudah bisa mendorong pada pola pengambilan kebijakan berdasarkan data melalui skema data analytic. Oleh karena itu Bapak Presiden menyampaikan sudah saatnya kecerdasan buatan diterapkan dalam birokrasi.
“Apakah kita sudah siap? Yang kami khawatirkan eforia e-Government di tahun 2003 yang cukup banyak dijawab dengan belanja infrastruktur akan terjadi dengan kebijakan kecerdasan buatan dalam pemerintahan. Sebenarnya solusi yang paling efektif adalah kita melakukan penatakelolaan pemerintahan secara efektif, setelah itu teknologi akan menjadi enabler untuk memudahkan atau mewujudkan harapan Bapak Presiden. Dan saat ini kami bersama tim koordinasi SPBE tengah bekerja keras agar harapan beliau pemanfaatan kecerdasan buatan di Indonesia dalam birokrasi dapat diwujudkan secara lebih cepat,”
Tantangan dalam Transformasi Digital
Menurut Direktur eGovernment Kementerian Kominfo, kunci utama untuk bisa bertransformasi adalah kepemimpinan. “Kalau kita lihat banyak inisiatif e-Government lahir dari seluruh pemerintah daerah. Tetapi kita melihat bahwa kepala daerah-kepala daerah yang menonjol adalah kepala daerah-kepala daerah yang punya keberanian untuk maju, keberanian untuk merubah tatanan yang biasanya menjadi sesuatu yang inovatif. Ini yang menjadi catatan bagi kami semuanya, leadership menjadi penting.”