Saat ini dunia masih berjuang menghadapi pandemi covid-19 yang tak kunjung reda. Karena itu, perusahaan harus memiliki strategi bisnis yang tepat untuk bertahan dan mendulang keuntungan pada tahun ini.
Oracle Indonesia mengungkapkan lima kunci sukses yang patut menjadi pemerhati para pemegang kunci perusahaan supaya bisa meraup cuan tahun ini.
Berikut beberapa tips yang patut menjadi pertimbangan:
1. Pemimpin perusahaan akan menuntut transformasi sejati dari investasi cloud mereka.
Menurut statistik, organisasi di seluruh dunia akan menghabiskan US$1,78 triliun untuk cloud dan inisiatif “transformasi digital” lainnya di tahun 2022. Pergeseran ke komputasi awan atau cloud, termasuk teknologi otonom itu sangat penting. Di sektor swasta, sudah ada satu atau lebih digital cloud-centric di setiap industri, baik itu ritel, media, hiburan, perjalanan, pendidikan, logistik, layanan keuangan, perawatan kesehatan, elektronik konsumen, atau transportasi.
Salah satu contohnya adalah Singtel, salah satu grup komunikasi terkemuka di Asia, yang bermitra dengan unicorn digital Grab untuk menawarkan layanan perbankan kepada pelanggan ritel dan korporat di Singapura. Ke depannya kita akan lebih sering melihat lebih banyak kemitraan digital yang tidak konvensional di berbagai sektor.
Tentu saja, penghargaan besar datang kepada organisasi-organisasi yang melihat cloud sebagai fasilitator yang meringkankan. Memang, Gartner menyebut cloud sebagai Selain itu, sudah jelas bahwa cloud adalah fasilitator bisnis berbasis data, yang menghadirkan alat baru (kecerdasan buatan) AI dan mengadakan pembelajaran mesin (ML) dengan hanya menggunakan ujung jari namun dapat membawa perubahan signifikan pada bisnis. Saat kita memasuki tahun 2022, kita akan mendengar lebih banyak para petinggi perusahaan meminta tim eksekutif mereka untuk memberikan bukti lebih banyak bahwa investasi cloud mereka memposisikan perusahaannya dalam mendapatkan keunggulan kompetitif jangka panjang.
2. Machine Learning (ML) dan Artifical Inteligent (AI) akan menjadi kompetensi inti bagi perusahaan digital terkemuka.
Dengan besarnya data yang ada saat ini, perusahaan terus tenggelam dalam data, algoritme ML dan AI di lain sisi menjadi penyelamat, membantu perusahaan menganalisa dan terus mengambil pelajaran dari data tersebut untuk meningkatkan pengambilan keputusan serta menginformasikan berbagai tindakan selanjutnya.
Meskipun demikian, sebagian besar perusahaan masih bereksperimen dengan ML dan AI. Yang menjadi masalahnya adalah menemukan keterampilan yang diperlukan. Sementara sebagian besar perusahaan dan lembaga pemerintah tidak memiliki sumber daya untuk mengumpulkan pasukan PhD ilmu data, alternatif yang lebih praktis adalah membangun tim "MLOps" yang lebih kecil dan lebih fokus—seperti tim DevOps dalam pengembangan aplikasi.
Tim tersebut terdiri dari ilmuwan data, tetapi juga pengembang dan orang-orang operasi TI lainnya dimana misi berkelanjutannya adalah menerapkan, memelihara, dan terus meningkatkan model ML dan AL dalam produksi. Selain itu, perusahaan menyadari akan nilai dari memanfaatkan infrastruktur dan aplikasi cloud dengan algoritme ML dan AI bawaan.
Pada tahun 2025, Gartner memperkirakan, 10% perusahaan yang telah menerapkan praktik terbaik teknik ML/AI akan menghasilkan setidaknya tiga kali lebih banyak mendapatkan nilai dari praktik tersebut daripada 90% perusahaan yang tidak. Raih keuntungan penggerak awal.
3. Pelanggan dan pihak lain akan mengevaluasi perusahaan melalui lensa keberlanjutan (sustainability).
Saat pelanggan membeli barang dan jasa, mengukur calon pemberi kerja dan bahkan berinvestasi di saham, orang-orang dari segala usia akan semakin mengevaluasi rekam jejak dan komitmen keberlanjutan perusahaan kita.
Maka banyak perusahaan mulai melakukan hal yang sama dengan pemasok dan mitra mereka, meminta mereka—dan diri mereka sendiri—bertanggung jawab untuk mengurangi emisi karbon mereka, beralih ke sumber energi terbarukan, mengalihkan limbah dari tempat pembuangan sampah, dan mengadopsi praktik terbaik lingkungan lainnya.
Pada 2022, akan menjadi kewajiban setiap perusahaan untuk menyusun dan menjalankan strategi keberlanjutan yang komprehensif, dimana suatu tatanan tinggi akan membutuhkan kepemimpinan yang lebih terfokus, terutama di APAC.
Sementara Forrester melaporkan bahwa di antara perusahaan Fortune Global 200, 92% di Amerika Utara dan 81% di EMEA telah menunjuk pemimpin keberlanjutan di VP, direktur, atau tingkat eksekutif lainnya, hanya 26% di APAC yang memilikinya.
4. Pengusaha yang tidak menyesuaikan pengembangan karir dan praktik perekrutan mereka dengan dunia pascapandemi akan tertinggal dari mereka yang melakukannya.
Mempekerjakan dan mempertahankan orang-orang yang terampil dan berbakat terus menjadi prioritas No. 1 dari hampir setiap perusahaan, menurut berbagai macam survey yang telah dilakukan.
Namun ‘Pengunduran Diri’ yang dipicu oleh pandemi global menunjukkan bahwa pada tahun 2022 para pemberi kerja akan mendapatkan pekerjaan yang sesuai untuk mereka termasuk lebih proaktif dalam memetakan jalur karier untuk orang-orang perusahaan yang paling berharga dan bersedia mendengarkan kekhawatiran mereka tentang keseimbangan kehidupan kerja, fleksibilitas tempat kerja , dan masalah lainnya.
Memang, laporan AI@Work 2021 oleh Oracle dan Workplace Intelligence menemukan bahwa sebagian besar responden mengatakan pandemi telah menyebabkan mereka merasa "terjebak" dan mendorong mereka untuk memikirkan kembali masa depan mereka.
Di Asia Pasifik, 84% pekerja ingin membuat perubahan karir di tahun depan; 86% pekerja tidak puas dengan dukungan karir atasan mereka, dan 91% dari mereka mengatakan atasan mereka harus berbuat lebih banyak untuk mendengarkan kebutuhan mereka. Selain itu, 93% responden mengatakan pandemi telah membuat keseimbangan kehidupan kerja, kesehatan mental, dan fleksibilitas pekerjaan menjadi prioritas yang lebih besar bagi mereka.
5. Disrupsi rantai pasokan akan menjadi “tidak pernah normal”.
Pandemi terus memaksa perencana rantai pasokan untuk menilai kembali prioritas mereka dan bagaimana mereka menerapkan teknologi manajemen rantai pasokan (SCM) terbaru, karena "tidak pernah normal" menjadi normal baru, tulis pakar rantai pasokan Oracle Eric Domski dan Ryan Sumrak.
Sebagai contoh, dulu sistem inventaris yang "tepat waktu" adalah praktik terbaik pra-pandemi bagi sebagian besar perusahaan, saat ini inventaris dengan "persediaan yang aman"—atau apa yang dikenal sebagai manajemen inventaris "berjaga-jaga"—dianggap sebagai hal yang praktik yang normal saat ini.
Meskipun teknologi rantai pasokan yang tercanggih sekalipun tidak akan sepenuhnya mengantisipasi tingkat guncangan pasar seperti pandemi global, teknologi tersebut dapat membantu perusahaan mengetahui keseimbangan stok pengaman yang tepat.
Ketika perilaku pembelian orang bergeser—terutama dari saluran fisik ke saluran online—perusahaan perlu mengidentifikasi dan bereaksi terhadap perubahan tersebut dan merencanakan “efek domino” di seluruh pabrik, pusat data, dan rantai pasokan yang diperluas, kata para pakar Oracle.
“Sekaranglah waktunya untuk sepenuhnya memanfaatkan solusi perencanaan rantai pasokan Anda untuk mensimulasikan semua kemungkinan skenario dan menghasilkan perkiraan yang lebih baik dalam memprediksi pola permintaan global yang selalu berubah,” tulis mereka.
Dengan mempertimbangkan prioritas utama ini dalam konteks dampak bisnis, peluang dan tantangan, maka bisnis di Indonesia akan lebih mampu meningkatkan produktifitas mereka dan membantu menggiatkan kembali perkoniman nasional yang baru.