Find Us On Social Media :

Setiaji, Arsitek di balik Pengembangan Aplikasi PeduliLindungi

By Wisnu Nugroho, Kamis, 10 Maret 2022 | 07:05 WIB

Setiaji (Chief Digital Transformation Office (DTO) Kementerian Kesehatan RI

Saat ini, Anda mungkin sudah merasakan integrasi data yang semakin rapi di aplikasi PeduliLindungi. Setiap kali melakukan tes Covid-19, Anda akan mendapatkan hasilnya sesaat kemudian. Jika hasilnya positif, Kementerian Kesehatan akan mengirimkan pesan Whatsapp berisi instruksi untuk memanfaatkan telemedicine serta penebusan obat.

Ke depan, manfaat PeduliLindungi akan semakin besar dan tidak melulu terkait Covid-19. PeduliLindungi akan menjadi aplikasi personal health record bagi masyarakat Indonesia. Rekam medis individu (seperti catatan vaksinasi, penanganan kesehatan, sampai penyakit yang diderita) akan tercatat di sana. “Jadi ketika kita cek darah atau vaksin BCG, hasilnya akan langsung kita terima di aplikasi PeduliLindungi,” ungkap Setiaji.

Setiaji sendiri adalah Chief Digital Transformation Office (DTO) Kementerian Kesehatan RI, sekaligus staf ahli Menteri Kesehatan RI bidang Teknologi Kesehatan. 

Amanah yang diberikan kepada pria ramah ini memang tanpa alasan. Setiaji adalah sosok berpengalaman di sisi teknologi maupun birokrasi. Pada periode 2015-2019, Setiaji adalah Kepala UPT Smart City DKI Jakarta. Setelah itu, ia dipercaya menjadi Kadis Kominfo Provinsi Jawa Barat. 

Dan sejak Desember 2021 kemarin, Setiaji pun dipercaya memimpin DTO Kementerian Kesehatan RI. “Tugas saya adalah mengakselerasi program transformasi digital untuk pelayanan kesehatan di Kementerian Kesehatan,” cerita Setiaji.

Menyediakan Platform Kesehatan

Integrasi data dan aplikasi adalah satu program prioritas DTO Kemenkes saat ini. Harapannya, akan ada satu aplikasi tunggal untuk masyarakat, dan satu aplikasi tunggal untuk pelayanan kesehatan. 

Untuk mewujudkan itu, langkah pertama yang dilakukan adalah membangun platform dengan standarisasi yang jelas. “Mulai dari standar sederhana seperti format jenis kelamin dan tanggal, sampai standar kode obat dan jenis tindakan,” ungkap Setiaji. Nantinya, seluruh fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia (seperti rumah sakit, puskesmas, apotik, dan klinik) wajib mengirim data setiap tindakan medis ke pusat data Kementerian Kesehatan.

Integrasi ini diharapkan bisa membawa manfaat maksimal bagi masyarakat Indonesia. Tiap individu memiliki akses ke rekam medis masing-masing, sehingga lebih mudah saat melakukan pemeriksaan di rumah sakit berbeda. Pemerintah pun memiliki data yang akurat terkait kondisi kesehatan masyarakat Indonesia. “Data ini nantinya dimanfaatkan untuk kebijakan kesehatan berbasis big data,” tambah Setiaji.

Saat ini, Setiaji dan tim sedang dalam proses menyederhanakan aplikasi di sisi fasilitas kesehatan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat rumitnya legacy system saat ini. “Puskesmas saja menggunakan 70 aplikasi, sementara RS [milik pemerintah] sekitar 51 aplikasi,” cerita Setiaji. Masalah lain, 85% fasilitas kesehatan di Indonesia belum memiliki koneksi internet yang memadai.

“Saat ini kami fokus ke 15% [fasilitas kesehatan yang sudah online] terlebih dahulu, dan itu pun tidak mudah,” tambah Setiaji. Namun Setiaji meyakini, pihaknya bisa mencapai target tahun ini, yaitu mengintegrasikan data dari 8000 fasilitas kesehatan. Sasaran utama adalah fasilitas kesehatan yang sudah memiliki jejaring luas, seperti RS Pertamina, klinik Prodia, dan lain sebagainya. “Dan tentu saja puskesmas dan rumah sakit vertikal,” tambah Setiaji.

Mengembangkan Ekosistem

Prioritas lain yang saat ini dikejar oleh DTO Kementerian Kesehatan RI adalah mengembangkan ekosistem layanan kesehatan. Hal ini didasari fakta, Indonesia masih memiliki keterbatasan di sisi fasilitas maupun tenaga kesehatan. 

Layanan telemedicine pun menjadi bagian penting rencana ini. Namun untuk menjaga kualitas layanan, Kemenkes RI mendesain kebijakan berbasis regulatory sandbox; mirip seperti yang dilakukan OJK untuk mengembangkan ekosistem fintech.

Pada konsep regulatory sandbox ini, penyelenggara layanan kesehatan mengembangkan dan menjalankan layanannya dengan pengawasan langsung dari tim Kementerian Kesehatan. Tim ini nantinya akan menilai, apakah penyedia layanan tersebut menjalankan layanannya sesuai standar yang telah ditetapkan. “Mulai dari data security, akurasi, SLA, dan lain sebagainya,” ungkap Setiaji. 

Saat ini, pendekatan regulatory sandbox sedang diuji coba untuk penyedia layanan penyakit malaria. Ada 16 penyedia layanan yang saat ini sedang ditinjau, seperti Simantri Sehat (layanan telehealth malaria) dan Alvori (tes cepat malaria menggunakan AI). Di periode Februari-Mei 2022 ini, seluruh layanan tersebut melakukan uji coba layanan langsung ke masyarakat. 

Rencananya pada Juni 2022 nanti, akan ada pengumuman layanan kesehatan mana saja yang mendapat lisensi untuk menjalankan layanannya. Dan jika uji coba ini berhasil, pendekatan sandbox ini akan dikembangkan ke layanan kesehatan lainnya. 

“Harapan besarnya, semua inovasi ini akan membuat pelayanan kesehatan di Indonesia bisa semakin baik,” Setiaji (Chief Digital Tranformation Office Kementerian Kesehatan)

Semua rencana DTO Kementerian Kesehatan RI sendiri bisa dilihat pada buku biru yang telah dirilis tahun lalu. Jika ditilik, ada banyak rencana besar di sana. Tantangan pun tidak sedikit. Namun Setiaji berharap, DTO Kementerian Kesehatan RI bisa mendorong layanan kesehatan yang lebih baik. 

“Dan bisa menjadi contoh sektor layanan dasar lainnya dalam mewujudkan kebijakan berbasis satu data,” tambah Setiaji.