B20 Indonesia telah menggelar forum dialog bertajuk The Energy Transition In Growth Markets, pada Selasa (21/06/2022) secara Hybrid.
Forum ini merupakan side events dari Energy, Sustainability & Climate Task Force dan Future of Work and Education Task Force berkolaborasi dengan Accenture yang berlangsung dari 21-23 Juni 2022 di Roma, Italia.
Forum ini membahas tentang masa depan industri energi di era yang mengedepankan keberlanjutan dan emisi rendah demi masa depan yang hijau dan planet yang lebih lestari. Ini adalah masa depan yang dituntut dunia, dan pelaku bisnis atau industri yang akan menjadi pelopor dan memimpinnya ke arah sana.
Dalam konferensi tersebut, energi listrik diproyeksi akan menjadi pemain terbesar dalam bauran energi selain gas, energi matahari dan air. Semuanya itu akan menjadi tulang punggung masa depan tanpa karbon.
Selain itu, untuk menuju masa depan energi keberlanjutan, digitalisasi akan memainkan peran penting dalam transisi industri energi ini.
Yang pasti, langkah maju menuju masa depan yang berkelanjutan itu harus dilakukan dengan kerja sama, komitmen dan kolaborasi semua pihak, terutama publik-swasta bukan hanya demi memberikan nilai lebih bagi keberlanjutan bisnis dan konsumen, tetapi juga mendorong keragaman, inklusi, dan dampak positif bagi masyarakat tempat perusahaan energi beroperasi di seluruh dunia.
Dialog pada side events ini menghadirkan beberapa pembicara utama yakni Ketua Umum KADIN Indonesia Arsjad Rasjid, Ketua Penyelenggara B20 Indonesia Shinta Kamdani, Deputy Chair Energy, Sustainability & Climate Task Force Agung Wicaksono dan CEO Accenture in Growth Markets/Co-Chair Energy, Sustainability & Climate Task Force Gianfranco Casati.
Pembicara utama lainnya yaitu Chair B20 Future of Work & Education Task Force/President Director of Astra Otoparts/ Director of PT Astra International Tbk, Hamdhani D Salim; Co Chair B20 Future of Work & Education Task Force/IOE Vice President to The ILO, Renate Hornung Draus; WEF Head of Energy, Material and Infrastructure, Kristen Panerali; ENI Evolution CEO, Giuseppe Ricci.
Ketua Umum KADIN Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, saat ini pemain utama di ruang energi dan utilitas menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Perlu ada kolaborasi bersama menuju pengurangan emisi karbon yang signifikan dan transisi yang progresif dari energi penyumbang karbon menjadi energi yang ramah lingkungan, lebih hijau dan berkelanjutan.
“Dialog bisnis ini menekankan urgensi dan kerja tim. Saat ini dunia menuntut masa depan yang lebih berkelanjutan dan kolaborasi semua pelaku bisnis untuk mengadopsi kebijakan zero emisi dan transisi energi hijau demi masa depan generasi mendatang,” ujar Arsjad.
Arsjad memastikan transisi energi yang lebih hijau bukan berarti menghentikan profit bagi perusahaan. Justru, langkah perusahaan yang beralih ke energi bersih akan membuat nilai lebih bagi brand dan konsumen menjadi lebih percaya serta memberikan nilai positif karena melihat komitmen pelaku bisnis bagi dunia yang lebih lestari.
Hal senada juga dikatakan Ketua Penyelenggara B20 Indonesia Shinta Kamdani yang melihat transisi energi harus memberikan manfaat, bukan menjadi suatu beban.
Transisi energi, lanjut Shinta harus dipersiapkan dengan matang termasuk juga melakukan mitigasi biaya-biaya yang dibutuhkan, serta dampak yang dapat ditimbulkan.
“Transisi energi ini tentunya membutuhkan dukungan pendanaan yang besar. Negara-negara G20 yang berkontribusi 80% perekonomian dunia, diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap proses transisi ini. Ada beberapa prioritas utama yang mesti dikedepankan dalam transisi energi ini seperti aksesibilitas, teknologi dan pendanaan,” ujar Shinta.
Shinta mengatakan sejumlah pelaku usaha lintas sektor berkomitmen untuk mengubah perilaku usaha sebagai dukungan terhadap transisi energi di Indonesia.
Hal tersebut dilakukan untuk mendukung target pemerintah dalam mencapai nol emisi karbon pada 2060 dan perlu adaptasi untuk terus memperpanjang umur industri kelistrikan dengan mengedepankan energi baru dan terbarukan (EBT) secara bertahap.
Tak hanya industri, negara juga akan menanggung beban berat apabila transisi energi tidak dilakukan.
Jika pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen tiap tahunnya, konsumsi energi akan bertambah terus membuat cadangan devisa habis untuk biaya impor bahan bakar fosil demi kebutuhan dalam negeri.
Side Events B20 Indonesia yang membahas Peluang dan Tantangan Ekonomi Transisi Energi
Sementara itu, Deputy Chair Energy, Sustainability & Climate Task Force Agung Wicaksono mengakui perlu waktu untuk mengubah ketergantungan dari penggunaan energi fosil ke EBT.
Selain itu, tantangan lain dalam upaya transisi energi adalah membangun ekosistem bisnis yang inklusif dan berkelanjutan. Ini semua membutuhkan pendanaan yang sangat besar dan kolaborasi bersama dengan komitmen yang tinggi.
"Negara-negara berkembang yang ketergantungan energi fosilnya masih cukup tinggi tidak bisa serta merta langsung switch ke energi terbarukan. Butuh fase dan transisi. Kita perlu memikirkan juga akses bagi masyarakat yang rentan terhadap energi. Jangan sampai fase perpindahan dari energi fosil ke energi terbarukan justru menutup akses masyarakat rentan, karena tinggi atau mahalnya biaya energi bersih,” ujar Agung yang juga Managing Director PT Jababeka Infrastruktur.
Energy, Sustainability & Climate Task Force lanjut Agung mendorong rekomendasi kebijakan transisi energi yang tetap ramah bagi masyarakat rentan untuk dapat menikmati energi yang murah, bersih dan berkualitas.
Untuk itu diperlukan teknologi yang reliable dan kompetitif untuk dikembangkan serta dukungan pendanaan jangka panjang yang kompetitif.
Baik Arsjad, Shinta maupun Agung meyakinkan dalam upaya transisi energi, pemerintah akan terus mendukung dan melahirkan kebijakan-kebijakan hijau dengan indikator dan standar implementasi yang jelas yang juga didukung sepenuhnya oleh kalangan pengusaha.
Pelaku usaha melalui KADIN Indonesia sudah membuat Gerakan Net Zero Emission (netral karbon) untuk mendukung upaya pemerintah dalam proyek transisi energi.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Chair B20 Indonesia Future of Work and Education Task Force, Hamdani Salim mengatakan teknologi yang saat ini menjadi penggerak ekonomi digital global, menjadi salah satu fokus penting yang ingin dikuasai pemerintah dan ini erat kaitannya dengan persoalan pendidikan sekaligus bentuk kerja di masa depan.
“Saat ini problemnya, ada pada ketimpangan infrastruktur digital antara negara maju dan berkembang, termasuk soal pembiayaan, kesiapan perusahaan, literasi digitalnya termasuk soal akses pengetahuan atau pendidikan,” kata Hamdani Salim.
Menurut Hamdani, pandemi dan perubahan iklim mendorong digitalisasi semakin cepat dan mengarahkan dunia kerja pada penerapan teknologi serta ekonomi hijau.
Alhasil dunia pendidikan harus berkesinambungan dan selaras dengan dunia kerja di masa depan, salah satunya melalui peningkatan kualitas sistem pendidikan terutama bidang vokasi dan pelatihan berbasis keahlian seperti pembelajaran digital.
Hamdhani juga menjelaskan mengenai rise of green jobs. Saat ini, selain bertumpu pada dunia digital, ekonomi dunia juga bergeser pada ekonomi hijau, yang menyediakan green jobs dan menuntut green skills para pekerjanya.
Hal ini sejalan dengan komitmen seluruh dunia yang ingin meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi kerusakan ekologi dan melestarikan planet ini.
Menurut data Kementerian PPN/ Badan Pembangunan Nasional (Bappenas), jika menggunakan scenario net zero emission, Indonesia berpotensi memiliki 3 juta lapangan pekerjaan pada 2060.
Namun, diperlukan persiapan dari berbagai sektor untuk menyongsong Indonesia era green jobs, salah satunya sektor pendidikan dan tenaga kerja yang membutuhkan pemahaman, keterampilan, dan lapangan kerja yang mendukung.
Sementara dalam sektor ekonomi dibutuhkan investasi besar dan persiapan untuk transformasi bisnis yang tidak ramah lingkungan.
Pengembangan green jobs di Indonesia juga harus memiliki beberapa rencana yang matang seperti menerbitkan peta informasi dan peta jalan mengenai green jobs yang mencakup sektor pertanian, konstruksi, manufaktur, energi terbarukan, dan jasa.
Pemerintah bersama swasta juga harus berkolaborasi menyusun formulasi regulasi mengenai green jobs di Indonesia.
Rekomendasi B20 Indonesia diharapkan menjadi platform bagi pemerintah dan swasta untuk melakukan percepatan kolaborasi antar sektor dalam bentuk inisiatif blended finance yang akan menyalurkan investasi dari sektor publik, swasta, development fund dan filantropi kepada proyek-proyek investasi hijau yang menciptakan lebih banyak peluang bisnis, lapangan kerja hijau hingga pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan kolaboratif.
Baca Juga: Dorong Kemampuan Digital Perempuan Jadi Salah Satu Fokus B20 WiBAC
Baca Juga: Delegasi B20 Indonesia Jajaki Kerjasama dengan Singapura Di Bidang Digital