Find Us On Social Media :

Ekonomi Digital Indonesia Diprediksi US$77 Miliar Hingga Akhir Tahun

By Rafki Fachrizal, Rabu, 9 November 2022 | 15:50 WIB

Ilustrasi Digital Economy

Laporan e-Conomy SEA tahun ini memproyeksikan bahwa ekonomi digital Indonesia akan mencapai Gross Merchandise Value (GMV) senilai US$77 miliar hingga akhir tahun 2022, setelah tumbuh sebesar 22% selama setahun terakhir.

Hingga tahun 2025, ekonomi digital diproyeksikan mencapai US$130 miliar, tumbuh dengan Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 19%, dan hingga tahun 2030 diperkirakan akan tumbuh lebih dari tiga kali lipat di kisaran US$220 sampai US$360 miliar.

Laporan multi-tahunan ini, yang menggabungkan data dari Google Trends, data dari Temasek, dan analisis dari Bain & Company, selain juga memadukan informasi dari berbagai sumber di industri dan wawancara dengan para ahli, menyoroti ekonomi digital enam negara di Asia Tenggara: Indonesia, Vietnam, Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina.

Di Indonesia, sektor e-commerce terus mendorong ekonomi digital dan nilainya diperkirakan akan mencapai US$59 miliar pada tahun 2022.

Meskipun aktivitas belanja offline kini mulai kembali bergairah, sektor e-commerce menyumbang 77% dari keseluruhan ekonomi digital.

“Indonesia memiliki sektor e-commerce dengan pertumbuhan tercepat kedua (setelah Vietnam) tetapi selain GMV ada banyak dimensi pertumbuhan yang kini juga harus difokuskan,” ucap Randy Jusuf, Managing Director, Google Indonesia.

“Untuk mendorong pertumbuhan jangka pendek, bisnis kini lebih berfokus mencapai profitabilitas dengan memangkas biaya dan mengoptimalkan operasi,” sambung Randy.

Hingga tahun 2025, sektor e-commerce Indonesia diproyeksikan tumbuh dengan CAGR 17% dan nilai GMV mencapai US$95 miliar.

“Setelah bertahun-tahun mengalami akselerasi, pertumbuhan penggunaan teknologi digital kini berangsur normal, dengan kalangan mampu dan kaum muda yang melek teknologi di perkotaan menjadi pengguna terbesar layanan digital,” jelas Randy.

“Mayoritas pemain digital mengalihkan prioritasnya dari akuisisi pelanggan baru ke menciptakan engagement yang lebih dalam dengan pelanggan yang sudah ada,” lanjutnya.

Lebih lanjut, e-commerce, transportasi, dan pesan-antar makanan menjadi tiga layanan digital teratas di Indonesia dengan tingkat penggunaan yang hampir merata di kalangan pengguna digital perkotaan.

Transportasi dan pesan-antar makanan pun diproyeksikan mencapai GMV US$8 miliar pada tahun 2022 dan terus tumbuh dengan CAGR 22% menjadi GMV US$15 miliar hingga tahun 2025.

Pertumbuhan permintaan berangsur normal karena makin banyak orang yang kembali pergi ke restoran.

Indonesia tetap menjadi tempat menarik untuk investasi teknologi

Pada tahun 2022, Singapura dan Indonesia menjadi dua tujuan investasi teratas di Asia Tenggara.

Indonesia menarik 25% dari total nilai pendanaan swasta di kawasan ini dan dalam jangka panjang tetap menarik bagi investor bersama dengan Vietnam dan Filipina.

Namun, mengingat adanya hambatan ekonomi makro, nilai transaksi pada Semester 1 2022 turun US$2 miliar YoY akibat adanya kekhawatiran seputar profitabilitas dan valuasi.

“Ekonomi digital Indonesia akan terus menarik minat investasi karena fundamentalnya yang kuat, seperti memiliki basis pengguna yang sangat aktif dalam jumlah besar dan ekosistem startup teknologi yang dinamis,” kata Fock Wai Hoong, Deputy Head, Technology & Consumer and Southeast Asia, Temasek.

“Bekerja sama dengan sektor bisnis, pemerintah, dan masyarakat, Temasek berkomitmen untuk menggunakan modal katalis kami untuk memacu pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif dalam ekonomi digital Asia Tenggara sehingga setiap generasi dapat mencapai kesejahteraan,” tambahnya.

Menuju ekonomi digital yang lebih berkelanjutan

Ekonomi digital dapat berperan positif dalam menerapkan kebiasaan yang lebih berkelanjutan dengan meningkatkan kesadaran di antara konsumen, bisnis, investor, dan pemerintah. Emisi dan sumber daya menjadi isu lingkungan terpanas saat ini.

Riset menunjukkan bahwa ada “kesenjangan antara ucapan dan tindakan” (say-do gap) antara niat yang dinyatakan konsumen dan perilaku pembelian yang sesungguhnya. Di antara orang Indonesia yang menjadi responden survei, 48% mengatakan bahwa mereka bersedia membelanjakan uangnya 5% lebih banyak untuk produk dan layanan yang lebih berkelanjutan, dan 40% responden mengatakan bahwa keberlanjutan adalah kriteria utama saat membeli makanan kemasan.

Namun, hanya 4% yang benar-benar mewujudkan niatnya tersebut karena banyaknya hambatan di sepanjang perjalanan pembelian, termasuk kurangnya informasi, kepercayaan, dan pilihan produk yang berkelanjutan di Indonesia.

Faktor pendukung pertumbuhan di masa depan

Pertumbuhan di bidang pembayaran, pendanaan, logistik, akses internet, dan kepercayaan konsumen meningkat signifikan selama enam tahun terakhir.

Untuk mempertahankan momentum, perlu serangkaian faktor pendukung baru yang berfokus pada profitabilitas serta diimbangi dengan perluasan inklusi digital untuk memenuhi permintaan dari aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola serta peluang yang mereka hadirkan.

“Ekonomi digital Indonesia tetap menjadi yang terbesar dan paling beragam se-Asia Tenggara. Penyedia layanan digital harus mengimbangi permintaan konsumen yang kuat melalui keterlibatan yang bermakna dengan berbagai demografi pengguna, dan dengan demikian dapat mendorong partisipasi yang lebih dalam untuk ekonomi internet. Kunci untuk mempertahankan momentum positif ini adalah dengan mendorong Usaha Kecil Menengah (UKM) berakselerasi menuju pertumbuhan berikutnya, terutama dengan memperdalam adopsi digital UKM di seluruh SaaS dan alat keuangan," papar Aadarsh Baijal, Partner and Head of Digital Practice in Southeast Asia, Bain & Company.

Baca Juga: Dukung Ekonomi Digital, WhatsApp Gelar Pasar Pop-up UKM di Jakarta