Adopsi 5G yang terakselerasi akan menambah kerentanan (vulnerability). Pada tahun 2025, koneksi 5G di Asia Pasifik diperkirakan akan mencapai 430 juta, atau naik dari angka 200 juta pada tahun 2021.
Steven mengingatkan soal data-data bervolume besar yang akan digunakan atau tercipta dari penggunaan 5G, misalnya di sektor kesehatan, manufaktur, dan pertambangan. “Data-data ini mungkin mencakup data-data pribadi dan data sensitif lainnya sehingga ketika terjadi insiden, akan berisiko. Oleh karena itu, adopsi 5G menjadi salah satu area yang kritis untuk diperhatikan,” jelasnya.
Prediksi lainnya terkait dengan keamanan peralatan IoT untuk medis yang terkoneksi ke jaringan. Sektor kesehatan menjadi sasaran empuk para penjahat siber karena dua faktor. Pertama, sektor kesehatan umumnya masih menggunakan sistem legacy. Dan di saat yang sama, sektor ini menyimpan data-data yang sifatnya sensitif, seperti rekam medis pasien.
“Kalau hacker bisa meretas perangkat IoT di rumah sakit, apa dampaknya, misalnya terhadap tindakan bedah yang kritis? Bahkan sebelum itu, semua data pribadi yang menyangkut kesehatan pasien juga harus dikelola dan dilindungi,” ujar Steven.
Palo Alto Networks juga menyoroti risiko serangan terhadap supply chain di cloud yang berpotensi mengganggu bisnis. “Dengan adopsi perusahaan terhadap arsitektur cloud native, mereka akan secara melekat menggunakan kode dari pihak ketiga pada aplikasi-aplikasi yang bersifat kritis,”jelas Steven. Dan bisa saja, tanpa disadari, kode itu mengandung kode jahat.
Serangan terhadap supply chain juga bisa datang dari aplikasi yang pengembangannya tidak menggunakan best practice sehingga penjahat siber bisa mengeksploitasi kode-kode di dalam aplikasi saat terhubung ke cloud.
Prediksi ketiga adalah meningkatnya pembahasan data sovereignty. Palo Alto Networks memperkirakan akan semakin banyak regulasi dan aturan seputar kedaulatan data, terutama karena pemerintah ingin mengontrol dan melindungi masyarakat, serta memastikan layanan-layanan yang bersifat kritis dapat terus berlangsung.
“Yang menarik adalah jika dibandingkan dengan negara-negara lain (di Asia Pasifik), Indonesia terbilang lebih maju untuk urusan perlindungan data. Mengapa ini bisa seperti itu? Karena di Indonesia ada misalnya Tokopedia dengan 100 juta pengguna. Harus ada aturan siber untuk data residency,” Steven berkomentar.
Selanjutnya Palo Alto Networks juga mengingatkan bahwa metaverse kemungkinan akan menjadi satu arena permainan baru bagi para penjahat maya. Pasalnya, uang yang berputar di metaverse diperkirakan tidak sedikit. Menurut laporan McKinsey, warga net menghabiskan sekitar US$54 miliar per tahun untuk membeli barang-barang virtual. Sementara para analis Bloomberg memperkirakan nilai pasar metaverse, sebagai the next big tech platform, secara global bisa mencapai US$800 miliar pada tahun 2024.
Steven Scheurmann juga melihat atensi besar para pelaku bisnis Indonesia terhadap metaverse, termasuk dari sektor perbanan. “Mereka sudah memiliki rencana bahwa mereka harus membangun cabang di metaverse,” ujarnya.
Menurutnya, seperti halnya di cloud, salah satu tantangan keamanan terbesar di metaverse adalah mengidentifikasi identity credential pengguna.
Atasi dengan Solusi dan Kolaborasi
Palo Alto Networks tentunya sudah menyiapkan solusi yang dapat menjawab tantangan keamanan siber terkini, seperti cloud security, ZTNA, dan medical IoT Security. “Palo Alto Networks boleh dibilang ada di lini terdepan untuk solusi keamanan di cloud,” jelas Adi Rusli. Terlepas dari siapa penyedia cloud-nya, menurut Adi, solusi Palo Alto Networks memberikan simplifikasi, konsistensi, dan visibilitas menyeluruh dalam hal keamanan cloud.
Selain solusi, Steven mengingatkan bahwa kata kunci dalam menangani keamanan siber adalah kolaborasi. “Kolaborasi adalah salah bagian besar dari apa yang kami lakukan. Kami bekerja sama dengan para pemangku kepentingan (dalam keamanan siber), seperti pemerintahan, sektor swasta, agensi, penegak hukum, dan sebagainya,” jelasnya.
“Bahkan kolaborasi juga harus menjangkau dunia akademis, karena kita lihat sekarang pasar kekurangan SDM yang dilengkapi dengan keahlian di bidang keamanan siber. Itu adalah PR bagi kita karena kita akan selalu berlomba (dengan penjahats siber) dalam hal ancaman keamanan. Buktinya, polisi dan penjahat dari dulu selalu ada dan (kejahatan serta teknis memberantasnya) akan terus berevolusi. Begitu pula di dunia siber,” pungkas Adi Rusli.