Salah satu budaya baru yang muncul pasca pandemi adalah cara kerja hybrid atau hybrid working. Namun seiring penerapannya, ada sejumlah tantangan keamanan yang perlu diperhatikan. ITSEC Asia memaparkan cara menanganinya.
Hybrid working atau cara kerja hybrid menggabungkan aktivitas kerja di dalam dan di luar kantor secara bergantian. Dan menurut hasil riset World Trend Index 2022 yang dirlis Microsoft, 54% pemimpin perusahaan besar mulai mempertimbangkan untuk mengembangkan kultur kerja hybrid di lingkungan perusahannya di tahun ini.
Namun di balik maraknya penerapan cara kerja hybrid ini, ada tantangan tersirat yang perlu dihadapi oleh perusahaan. Salah satu tantangan yang perlu diperhatikan adalah sistem keamanan siber perusahaan tersebut.
Secara umum, sistem kerja hybrid ini menawarkan beberapa keunggulan dari sistem kerja di kantor, mulai dari efisiensi dalam agenda meeting kantor karena mereka bisa berpartisipasi kapan saja dan di mana saja secara daring.
Keunggulan lain adalah biaya operasional juga dapat dikurangi dengan sistem pengaturan waktu hadir di kantor. Selain itu, perusahaan juga dapat mengembangkan bisnis dengan cara merekrut karyawan dari berbagai domisili tanpa ada kewajiban untuk bertemu secara fisik.
Namun cara kerja hybrid juga membuat para karyawan semakin bergantung pada pemanfaatan teknologi digital seperti koneksi internet, penggunaan gawai, dan perangkat lunak yang belum tentu memiliki sistem keamanan yang jelas dan terpantau keamanannya oleh perusahaan. Walhasil, penerapan cara kerja hybrid berpotensi memunculkan ancaman siber yang dapat menempatkan karyawan dan perusahaan dalam posisi yang rentan akan serangan. Karenanya perusahaan perlu memperhitungkan resiko keamanan siber yang dihadapi.
Pakar keamanan siber dan Presiden Direktur ITSEC Asia, Andri Hutama Putra menjelaskan bahwa ada beberapa tantangan bagi perusahaan-perusahaan yang menerapkan sistem kerja hybrid terkait keamanan sistem informasi.
"Tantangan utama perusahaan dalam remote working atau bekerja jarak jauh adalah pemahaman karyawan mengenai resiko siber dan bagaimana meminimalkan resiko tersebut. Sebagai contoh, seorang karyawan mengakses web illegal menggunakan akun yang terintegrasi dengan data-data perusahaan, bisa saja karyawan tersebut terkena perangkap phishing, spoofing dan juga serangan ransomware. Atau bisa juga terjadi serangan melalui penggunaan jaringan koneksi publik yang tidak aman. Jika hal tersebut terjadi, data-data penting perusahaan bisa saja bocor ke pihak yang tidak bertanggung jawab. Maka di sisi lain, perusahaan perlu mengadopsi infrastruktur keamanan siber yang tangguh, untuk mendukung penerapan hybrid working agar tetap aman,” papar Andri.
Selanjutnya, ITSEC Asia juga memberikan beberapa cara yang bisa dilakukan oleh perusahaan dalam menghadapi tantangan yang timbul ketika mereka mengimplementasikan budaya kerja hybrid.
1. Meningkatkan kesadaran karyawan tentang keamanan siber
Dalam sistem kerja hybrid, karyawan bisa dikatakan sebagai garis pertahanan pertama sebuah perusahaan dalam menghadapi ancaman siber. Oleh karenanya, penting bagi perusahaan untuk mengedukasi, melatih, serta mendukung karyawannya dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam menjaga keamanan siber.
Hal ini dapat dilakukan oleh perusahaan dengan cara memberikan Cyber Security Training kepada seluruh karyawannya, tidak hanya pada tim TI. Dengan demikian, perusahaan dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya kebocoran data melalui serangan terhadap karyawan, seperti phising atau pengelabuan untuk mendapatkan data penting, dan juga spoofing atau penipuan berkedok pihak yang resmi untuk mencuri data, uang, ataupun merusak sistem.
2. Menerapkan postur keamanan informasi yang tepat
Menyesuaikan sistem kerja hybrid dengan perencanaan keamanan informasi di perusahaan dapat dilakukan dengan melakukan audit dan analisis terhadap sistem keamanan, menyusun Cyber Incident Response Plan (CIRP) sebagai panduan dalam mitigasi insiden keamanan, dan membuat Business Continuity Plan (BCP) agar proses bisnis tetap dapat berjalan dengan baik dalam kondisi insiden. Menurut ITSEC Asia, dengan perencanaan, pengembangan tim dan konsultan keamanan yang tepat, perusahaan dapat mewujudkan infrastruktur siber yang paling sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
3. Menerapkan sistem keamanan yang proaktif
Dalam menciptakan infrastruktur siber yang lebih tangguh dalam kultur kerja hibrid, ITSEC Asia menyarankan perusahaan menyediakan gadget atau hardware, seperti tablet dan laptop, yang telah dilengkapi dengan sistem keamanan yang telah terintegrasi dan dapat dipantau dengan mudah oleh tim keamanan sistem informasi perusahaan.
Dalam sistem tersebut tim keamanan bisa saja memberlakukan two-factor authentication dan password manager untuk mengendalikan aktivitas para karyawan di dunia digital. Sebagai upaya pendukung, perusahaan juga dapat menggunakan Virtual Private Network (VPN) serta Remote Desktop Protocol (RDP) untuk mengamankan kanal komunikasi antara perusahaan dan para karyawan yang bekerja secara remote.
4. Meninjau sistem keamanan digital perusahaan
Selain itu, perusahaan juga disarankan ITSEC Asia untuk melakukan Information Security Analysis secara berkala untuk memastikan keamanan sistem informasi perusahaan. Setelah menemukan berbagai kelemahan, perusahaan dapat melakukan Database Security Hardening untuk memperkuat sistem database perusahaan dengan memperbarui komponen software dan hardware sistem keamanan perusahaan.
Tidak hanya dari sisi hardware dan software, perusahaan juga perlu melakukan pembaruan terhadap pengetahuan dan kemampuan sumber daya manusia mereka. ITSEC Asia juga menganjurkan perusahaan melakukan simulasi red teaming, yaitu simulasi serangan yang akan menguji ketangguhan secara komprehensif baik dari infrastruktur, proses mitigasi dan juga sumber daya manusia yang ada.
“Penerapan hybrid working dalam aspek umum memang dapat mendorong efisiensi biaya bagi perusahaan, namun dengan resiko keamanan siber yang ada, perlu juga adanya perhitungan rencana keamanan, mitigasi, dan resiko kerusakan. Sehingga efisiensi dan peningkatan produktivitas karyawan dan perusahaan dapat berjalan dengan baik,” pungkas Andri.