Menyusul viralnya ChatGPT, dunia pendidikan mulai bereaksi terhadap chatbot artificial intelligence ini.
Departemen Pendidikan New York City, AS, dikabarkan mulai memblokir akses penggunaan chatbot ini di jaringan dan perangkat di lingkungan sekolah. Langkah ini ditempuh guna mencegah murid menyontek dengan ChatGPT.
Kekhawatiran kalangan pendidik ini bisa dimaklumi karena ChatGPT ini memiliki kemampuan yang dapat dimanfaatkan siswa sekolah dalam mengerjakan tugas, seperti menyelesaikan soal matematika dan menulis esai dalam hitungan detik.
Pihak Departemen Pendidikan NYC khawatir ChatGPT akan berdampak negatif terhadap proses pembelajaran siswa. Selain itu, akurasi konten yang dihasilkan chatbot AI ini juga masih menjadi pertanyaan.
Baca juga: Lagi Viral, Apa Itu ChatGPT dan Bagaimana Cara Menggunakannya?
Salah satu kemampuan ChatGPT adalah merespons dan memberikan jawaban dengan cepat. Namun bagi lingkungan pendidikan, kemampuan ini justru dipandang tidak mendidik. "Jawaban-jawaban tersebut tidak membangun keterampilan berpikir kritis dan kemampuan menyelesaikan masalah yang sangat penting bagi kesuksesan akademis dan jangka panjang,” komentar Jenna Lyle, jurubicara sekolah, seperti dikutip dari CNET.
Cara Pendidik Siasati ChatGPT
Sementara itu, kalangan pendidik di Singapura menilai ChatGPT dan artificial intelligence bukanlah ancaman bagi dunia pendidikan.
Seorang profesor di bidang komunikasi dan teknologi dari Singapore Management University (SMU), Prof. Lim Sun Sun menilai menyontek dengan chatbot sebenarnya sama saja seperti ketika siswa memanfaatkan mesin pencari dan menyalin tulisan dari internet, atau menggunakan jasa pihak ketiga dalam mengerjakan tugas.
“Sekarang, ChatGPT mengemas informasi-informasi (dari mesin pencari) itu untuk para siswa,” komentar Dr. Mark Cenite dari Nanyang Technological University (NTU), seperti dikutip dari Asianews Network.
Menjawab tantangan ini, keduanya menyarankan para pendidik untuk memberikan tugas yang mengharuskan siswa berpikir lebih kritis. “Kami, para pendidik, harus meningkatkan permainan kami,” kata Dr. Cenite.
“Misalnya, alih-alih (memberikan) tugas yang membutuhkan argumen untuk dan menentang hukuman mati, kami dapat meminta siswa untuk menerapkan argumen tersebut dalam kasus tertentu. AI belum bisa melakukan sesuatu yang orisinal,” ujarnya.
Selain itu, institusi pendidikan seperti SMU juga memanfaatkan software antiplagiarisme, seperti Turnitin, untuk membentengi siswa dari tindakan menyontek, termasuk dengan bot AI seperti ChatGPT.
Software Antiplagiarisme Siap Antisipasi ChatGPT
Dalam blog Turnitin, CEO Turnitin, Chris Caren mengatakan bahwa software-nya mampu mendeteksi beberapa bentuk tulisan yang dibantu AI dan tulisan yang dibuat oleh tool AI seperti ChatGPT.
“AI writing bukan sesuatu yang baru (bagi kami). Dalam dua setengah tahun terakhir, kami telah melakukan riset dan mengembangkan teknologi yang dapat mengenali karya tulis yang dibuat dengan bantuan AI. Saat ini, ada teknologi yang sedang dalam tahap trial dan ada yang siap dipasarkan,” tulis Caren. Kemampuan deteksi tulisan AI, termasuk yang dibuat oleh ChatGPT, akan segera diintegrasikan dengan produk Turnitin yang sudah ada di pasar dan siap digunakan di tahun ini.
Ia juga berpendapat, adopsi ChatGPT bukanlah tanda-tanda akan berakhirnya karya-karya orisinal.Tool AI seperti ChatGPT malahan akan menjadi tool yang bermanfaat jika para pendidik menetapkan ekspektasi yang tepat mengenai penggunaannya.