Viralnya ChatGPT membuat generative artificial intelligence (AI) mulai dilirik, termasuk oleh pelaku bisnis. Namun ada setidaknya empat hal yang bisa menjadi tantangan bagi perusahaan dalam mengadopsi generative AI.
Salah satu contoh generative AI paling menonjol saat ini adalah ChatGPT. Chatbot AI buatan OpenAI ini menyita perhatian dunia karena kecerdasan dan keluwesannya dalam berinteraksi dengan pengguna.
Baca juga: Lagi Viral, Apa Itu ChatGPT dan Bagaimana Cara Menggunakannya
Apa itu generative AI? Secara garis besar, istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan jenis AI yang dapat digunakan untuk menciptakan karya digital baru, berupa teks, gambar, video, audio, kode pemrograman, atau data sintetis baru.
Baca juga: Apa Itu Generative Artificial Intelligence dan Contoh-contohnya
Terlepas dari pesona ChatGPT, generative AI memang memiliki masa depan yang cerah. Jenis AI ini diprediksi akan terus tumbuh. Dalam laporan yang berjudul “Emerging Technologies and Trends Impact Radar for 2022”, Gartner pun telah memasukkan generative AI sebagai salah satu teknologi yang paling mendatangkan dampak dan berkembang pesat, yaitu dalam merevolusi produktivitas.
Dua di antara prediksi Gartner mengenai generative AI adalah pada tahun 2025, generative AI akan digunakan dalam 50% inisiatif penemuan dan pengembangan obat-obatan. Dan pada tahun 2027, 30% dari pabrikan akan memanfaatkan generative AI untuk meningkatkan efektivitas pengembangan produk.
Dengan prediksi ini dan kepopuleran ChatGPT, diperkirakan akan semakin banyak kalangan bisnis yang ingin memanfaatkan generative AI.
Namun para ahli melihat ada beberapa hal yang dapat menjadi tantangan dalam penerapan generative AI. Apalagi Jika penerapan ini hanya karena terbuai hype ChatGPT. Umumnya, ketika ada kemajuan teknologi, adopsi mengikuti. Dalam kasus ChatGPT, bisnis tertarik karena reaksi dan interaksi publik.
Inilah empat hal yang berpotensi menjadi hambatan bagi organisasi bisnis ketika akan mengembangkan dan mengadopsi model generative AI.
IT Governance
Manajemen perubahan organisasi dan tata kelola TI termasuk dalam enam kesenjangan kemampuan terbesar antara tingkat kepentingan dan efektivitas untuk menyesuaikan model generative AI, menurut data Info-Tech Research Group dari 271 pemimpin TI yang disurvei antara Agustus 2021 dan Oktober 2022.
Model tata kelola/governance harus mencakup prinsip panduan yang berfokus pada privasi, keamanan data, transparansi algoritma dalam model AI, dan kerentanan cyber security, menurut Suma Nallapati, CIO Insight Enterprises, seperti dikutip dari CIO Dive.
“Teknologi adalah aspek yang mudah, tetapi model tata kelola ini sangat penting untuk teknologi baru, seperti generative AI, ChatGPT, dan lainnya, untuk bekerja secara efektif dalam organisasi dan mencapai hasil yang tepat,” kata Suma Nallapati.
Legislasi juga berperan penting dalam pengembangan dan implementasi solusi berbasis AI. Departemen TI harus mengamati dengan cermat undang-undang dan peraturan yang berkembang dan menerapkannya ke dalam model tata kelola.
Pengumpulan dan Kualitas Data
Model AI yang kompleks dan besar seperti generative AI membutuhkan data yang tepat dalam jumlah besar. Tantangannya di sini bagi para pelaku bisnis adalah kebutuhan talenta yang tepat dan kualitas data.
Bahkan kualitas data adalah kesenjangan kapabilitas terbesar kedua di antara tingkat kepentingan dan efektivitas untuk menyesuaikan model generative AI, menurut data Info-Tech Research Group.
Dikutip dari CIO Dive, Chris Monberg, CTO & Head of Product, Zeta Global juga menjelaskan bahwa generative AI, khususnya, bergantung pada sejumlah besar data yang telah melalui tahap preprocessing untuk memastikan akurasinya. Sementara pemeliharaan kualitas data adalah proses yang harus terus menerus dilakukan, bukan pekerjaan satu kali.
Tingkat Kematangan Technology Stack
Seperti halnya transformasi ke cloud atau sistem “as a Service”, adopsi generative AI membutuhkan tingkat modernisasi tertentu. Organisasi yang sudah melakukan transformasi digital, menurut Suma Nallapati, akan lebih mudah menerima.
Namun organisasi yang masih dibebani aplikasi legacy dan menanggung utang teknologi (technology debt) akan mengalami hambatan mengadopsi teknologi-teknologi baru, termasuk generative AI, machine learning, dan sebagainya.
Biaya
Model AI yang besar membutuhkan data dalam volume besar, yang artinya membutuhkan kemampuan komputasi yang besar dan mumpuni.
Contohnya, ChatGPT yang dilatih dengan model bahasa GPT 3. Dalam salah satu cuitannya di Twitter, Sam Altman, CEO OpenAI sempat berujar bahwa biaya komputasi ChatGPT “eye-watering” alias mengejutkan karena jumlahnya yang sangat besar. ChatGPT tentu tidak berjalan di atas laptop tapi di atas sistem komputasi berskala besar, yang terdiri dari ribuan server.