Riset Fortinet terbaru mengungkap peningkatan risiko dunia maya karena kurangnya ahli yang terus terjadi, sementara jumlah organisasi yang mengalami lima atau lebih penerobosan keamanan siber melonjak sebesar 48 persen.
Edwin Lim (Country Director Fortinet di Indonesia) mengatakan kebutuhan untuk menjadikan keamanan siber sebagai perhatian di level direksi semakin mendesak di Indonesia. Ada lebih dari 66 persen organisasi di Indonesia telah melaporkan penerobosan keamanan siber pelanggaran dunia maya dalam satu tahun terakhir, yang menghabiskan biaya pemulihan hingga lebih dari USD1 juta.
"Menyikapi tren ini, para pemimpin organisasi di Indonesia harus memprioritaskan perekrutan staf keamanan TI, terlihat dari 87% yang menganjurkan keberadaan mereka dalam organisasi," katanya.
Untuk memperkuat postur keamanan siber negara dan mengatasi kesenjangan keterampilan, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) telah memperbarui Konsep Strategi Keamanan Siber Nasional sebagai komponen penting keamanan nasional dalam merespons kemajuan teknologi.
Fortinet, sebagai penyedia solusi keamanan siber terkemuka, berkomitmen untuk bekerja sama secara erat dengan BSSN dan lembaga pemerintah lainnya untuk meningkatkan ketangguhan keamanan siber Indonesia.
John Maddison, EVP Produk dan CMO di Fortinet mengungkaptkan kekurangan ahli keamanan siber adalah salah satu tantangan utama yang menempatkan organisasi dalam risiko, seperti yang ditunjukkan dengan jelas oleh hasil Laporan Kesenjangan Keterampilan Keamanan Siber Global terbaru dari Fortinet.
"Dengan perkembangan saat ini, organisasi harus memilih produk yang memperkenalkan otomatisasi untuk mengurangi beban tim yang bekerja terlalu keras sambil terus fokus pada peningkatan keterampilan dan pelatihan keamanan siber," ucapnya. Fortinet juga merilis Laporan Kesenjangan Keterampilan Keamanan Siber Global 2023 , yang mengungkapkan tantangan saat ini terkait minimnya keterampilan keamanan siber yang memengaruhi organisasi di seluruh dunia. Temuan utama dari laporan global tersebut meliputi:
. Minimnya keterampilan keamanan siber menyebabkan tidak terisinya posisi-posisi penting TI, yang meningkatkan risiko siber organisasi, seperti penerobosan.
. Keamanan siber tetap menjadi prioritas dewan direksi dan ada permintaan dari pelaksana eksekutif untuk menambah jumlah staf keamanan TI.
. Sertifikasi di bidang teknologi sangat dihargai oleh pemberi kerja, berfungsi sebagai validasi keahlian.
. Organisasi mengakui keuntungan merekrut dan mempertahankan staf dengan bakat yang beragam untuk membantu mengatasi kekurangan keterampilan, tetapi melakukan hal itu tentu membawa tantangan.
Secara global diperkirakan dibutuhkan sebanyak 3.4 juta profesional untuk mengisi kesenjangan tenaga kerja keamanan siber. Pada saat yang sama, Laporan Kesenjangan Keterampilan Keamanan Siber Global 2023 menemukan bahwa antara 2021 hingga 2022 jumlah organisasi Indonesia yang mengalami lima atau lebih penerobosan meningkat sebesar 48%.