Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bukanlah hal yang baru, terutama di ranah riset dan akademisi.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan, riset terkait AI mengalami perkembangan yang sangat signifikan dalam rentang waktu 2010 hingga 2021. Menariknya, Asia justru mendominasi riset AI.
"Berbeda dengan ilmu lainnya, yang mendominasi adalah ilmuwan dari Eropa dan Amerika. Khusus AI, yang mendominasi justru Asia, khususnya Asia Timur, lebih khusus lagi Tiongkok," kata Handoko, saat menjadi pembicara kunci, pada diskusi bertema Digitalisasi, AI, dan Masa Depan Kita.
Dirinya memaparkan, melihat dari jurnal yang terindeks global, publikasi jurnal terkait AI dari 2010 ke 2021 meningkat dua kali lipat, mencapai 350 ribu jurnal. "Kalau kita bicara paten, yang berbasis AI juga sama, meningkat pesat, hampir 150 ribu paten yang di filing - diregister dan juga invented," ujarnya dalam situs resmi BRIN.
Indonesia berpotensi menjadi sumber data karena Indonesia begitu beragam, mulai dari demografi, geografis, sosial-budaya, alam, dan biodiversitasnya. Basisnya AI adalah big data.
"Salah satu solusi teknologi ultimate-nya adalah AI, gunanya untuk menganalisis big data itu," tambahnya.
BRIN bersama pemangku kepentingan terkait sedang memproses rancangan Perpres tentang Strategi Nasional (Stranas) Kecerdasan Artifisial. Di dalam Stranas tersebut, terdapat lima prioritas, yakni pelayanan kesehatan, reformasi birokrasi, pendidikan dan riset, kemananan pangan, mobilitas dan kota pintar.
"Bidang kesehatan misalnya, bagaimana BRIN mengembangkan rapid test kit, untuk mengetahui lebih dini potensi kanker serviks, TB, malaria, dan seterusnya, sehingga menurunkan cost dari kesehatan kita secara nasional," jelas Handoko.
Sedangkan bidang pangan, dengan memanfaatkan AI berbasis data omics, periset bisa mengembangkan varietas-varietas baru dari data molekuler.
Aktivitas Riset
Handoko menekankan tiga dari empat fokus area dalam Stranas AI, yaitu pengembangan SDM; infrastruktur dan data; dan regulasi dan etika. Menurutnya, dalam penguasaan dan pemanfaatan AI, dibutuhkan SDM yang memiliki kemampuan untuk berpikir secara analitis dan kritis. Hal ini sebagian besar dilakukan melalui aktivitas riset.
"Ultimate skill untuk memanfaatkan itu (AI), hanya bisa diciptakan kalau orang itu terlibat di aktivitas riset terkait," tegas Handoko.
Karena itulah, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM diharapkan tidak hanya SDM bidang AI, tapi juga SDM bidang Science, Technology, Engineering dan Math (STEM).SDM unggul tidak sekedar menggunakan aplikasi, tapi juga bisa menganalisis data dan mencari informasi yang dapat berguna untuk kehidupan.
"Karakter substansi data terkait kesehatan misalnya, hanya bisa dipahami oleh dokter yang juga paham AI. Begitu juga orang bioteknologi, yang memahami data genomic, tidak bisa hanya orang AI yang memahami (data) itu, karena dia tidak tahu konteksnya," jelasnya.
Kemudian fokus kedua adalah penguatan infrastruktur; dan produksi dan repositori data. BRIN dalam hal ini mendukung penguatan infrastruktur, dengan layanan High Perfomance Computing (HPC) BRIN yang bersifat terbuka (open platfom).
"Termasuk kami juga mengelola akuisisi data melalui armada kapal riset, perangkat akuisisi data molekuler, data citra berbasis konstelasi satelit penginderaan jauh, reaktor nuklir, dan seterusnya," beber Handoko.
Fokus ketiga terkait penguatan regulasi, penegakan etika, dan edukasi ke masyarakat. AI, ungkap Handoko, memang memudahkan kehidupan manusia, namun berpotensi melanggar privasi.
"Ini yang harus kita edukasi (ke masyarakat). Kita harus aware dengan data yang kita punya, karena AI mengambil data tanpa diskriminasi," pungkasnya.
Dirinya berharap melalui diskusi ini, masyarakat dapat lebih bijak dalam memanfaatkan AI. "Kita tidak perlu takut berlebihan, tetapi harus punya awareness untuk bisa memanfaatkan AI dan mengantisipasi risikonya dengan lebih bijak," pesan Handoko.